Selasa, 12 Juni 2018

MANUSA PADA

Bhujangga Waisnawa
Bhujangga; satu dari Tri Sadhaka; Sang Katrini
Saat Marakatta memerintah Bali dan Airlangga di Jawa
Karya besar Mpu Kuturan, demi perdamaian Bali 
Lambang kebersamaan; perdamaian dan kerukunan Bali
Siwa-Budha-Bhujangga, tanda rukunnya tiga Agama besar
Sudah hampir 1000 tahun usianya di melinium kedua ini.
Sungguh Karya Besar yang sangat Mulia
Bhujangga; Pendeta Penganut Ajaran Wisnu
Berpegang teguh pada Ajaran Wisnu
Yang menggambarkan Sifat-Sifat Air
Saat tenang sejenak; akan menjadi "rata air"
Ada saatnya air tenang dan menyejukan
Pada saatnya air menjadi penentu kehidupan
Tidak bersahabat dengan Alam; Air bisa jadi mala petaka
Menjadi air bah, banjir; meluluh lantakan apa saja yang dilalui
Bhujangga; ""meraga suku, guwung lan cecek""".
Wenang, patut, wajib dan mampu di semua Loka
Menjaga keseimbangan, keharmonisan Manusia dengan Alam
Wajib dan mampu di Bhur, Bwah dan Swah Loka
Lebah paraning banyu; air menuju tempat rendah
Menyadari pelayanan, sebuah kemuliaan
Belajar demi diri sendiri, sebelum melayani orang lain
Mana mungkin mampu melayani orang lain
Kalau masih minta dilayani orang.
Itu tak mungkin; sebelum mampu melayani diri sendiri;
.
Memang air ada diseluruh lapisan
Dibawah menjadi air-tanah, nun jauh didalam tanah
Dipermukaan menjadi lautan, danau dan sungai
Diatas; diuapkan Sang Surya melambung ke langit
Menjadi awan melayang-layang dibawa angin
Saatnya berkelompok menjadi mega-mendung
Dan Hujan Turun ke Bumi
Meresap kedalam tanah; mengalir diatas permukaan
Berdikit-dikit berkumpul menjadi aliran sungai
Menuju muara; menyatu dengan lautan
Kembali menguap menjadi awan-mega dan hujan
demikianlah sirkulasi air menjelajahi alam semesta.
Karena itu Bhujangga Waisnawa; patut tidak berkasta
Tak lebih tinggi dari mereka yg merasa berkasta paling rendah
Tak lebih rendah dari mereka yg merasa berkasta paling tinggi
Itulah prinsip manusa pada, dibedakan hanya ol guna dan karmanya

Senin, 04 Juni 2018

SEJARAH MAHA RSI MARKANDHEYA


Nama Maha Rsi Markandheya sudah sangat akrab dengan masyarakat Bali. Beliau dikenal sebagai seorang Maha Rsi yang pertama datang ke Bali demi keselamatan umat manusia. Menanam Panca Datu di sebuah tempat di pinggang Gunung Agung, dimana sekarang diatasnya telah dibangun Pura Basuki; cikal bakal pembangunan Pura terbesar di Bali. Membuka hutan demi pertanian dan demi kesejahteraan para pengikutnya.
Bila dicermati lebih dalam; Beliau adalah cucu buyut atau kompyang dari seorang Rsi yang bernama Sang Hyang Meru; kakek atau Kakyang beliau bernama Sang Niata; ayah beliau Sang Markanda dan memiliki seorang ibu yang sangat cantik bernama Dewi Manaswini.
Sejatinya beliau bagian dari sebuah keluarga besar. Saudara tua dari kakyang beliau bernama Sang Ayati, yang mempunyai putra bernama Sang Prana. Maha Rsi Markandheya kawin dengan Dewi Dumara; dan mempunyai seorang putra yang dikenal dengan nama Hyang  Rsi Dewa Sirah. Kemudian Hyang Rsi Dewa Sirah kawin dengan Dewi Wipari; yang juga menurunkan putra-putri. Demikian menurut Buana Tattwa Maha Rsi Markandheya berbahasa Kawi yang disusun oleh Ketut Ginarsa seorang asisten dari DR. R. Goris akhli arkeologi Belanda yang mengabdikan seluruh hidupnya sampai mati di Bali.
Beliau; Maha Rsi Markandheya adalah leluhur kami yang telah moksah, menyatu dengan Ida Sang Hyang Widhi, yang kini selalu dikenang, dipuja dan dihormati oleh keturunan beliau; Maha Warga Bhujangga Waisnawa.

Berawal dari tempat pertapaan beliau di sebuah gunung bernama Wukir Damalung di pegunungan Di Hyang (Dieng), Jawa Tengah. Belau adalah seorang Yogi Besar, sehingga disebut Sang Yogiswara. Suatu saat; karena memang kehendak Hyang Widhi beliau melakukan perjalanan kearah timur dari pertapaan beliau, dan tiba di Gunung Raung di pegunungan Ijen, Jawa Timur. Disana ternyata beliau membangun Asrama dan bangunan suci tempat memuja Ida Hyang Widhi. Rupanya beliau diterima oleh masyarakat disana; sehingga memiliki banyak pengikut. Namun tidak diketahui dengan jelas berapa lama beliau lama menetap disana.

Suatu saat beliau akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke-arah Timur ke Pulau di seberang lautan. Perjalan saat itu menjadi perjalanan sangat bersejarah karena diikuti oleh sekitar 800 orang Jawa Aga (Jawa Pegunungan), pengikut setianya. Semacam Bedol Desa.
Perjalanan sampai di daerah pegunungan sisi timur Bali; dimana beliau menemukan bangunan suci, Batu berundag. Tempat ini diberi nama To Langkir; artinya Orang Suci, roh suci atau yang disucikan. Tempat ini akhirnya dipelihara-dipugar oleh Maha Rsi Markandheya. Dan ditempat ini beliau mulai menetap bersama para pengikut beliau, dan mulai membuka hutan dengan maksud untuk tempat bercocok tanam.
Perjalanan beliau dari Gunung Raung, Jawa Timur sampai di bagian timur Pulau Bali ini, adalah perjalanan panjang yang memakan waktu berbulan-bulan. Dan ternyata banyak pengikut beliau yang menderita sakit dan bahkan mati akibat menemukan berbagai rintangan ditengah hutan belantara Bali pada saat itu. Karena itu, akhirnya memutuskan untuk kembali ke Gunung Raung. Entah berapa lama beliau berada disana akhirnya kembali ke Bali setelah mendapat petunjuk niskala dalam tapa-brata; dengan membawa para pengikut beliau. Sejarah mencatat pengikut beliau saat itu tidak sebanyak pengkut sebelumnya, hanya sekitar 400 orang saja.
Perjalan baru ini bukan tidak mendapat halangan, tapi karena sudah berpengalaman korban tidaklah sebanyak sebelumnya. Namun tetap cukup banyak yang menderita sakit dan meninggal. Sesuai niatnya saat kembali berangkat dari Gunung Raung, beliau lantas memohon keselamatan demi keselamat para pengikutnya, dengan cara menanam ‘Panca Datu’, lima macam jenis logam di sekitar Tolangkir, seperti diuraikan pada awal cerita ini.

Entah berapa lama beliau disini, akhirnya beliau kembali ke barat diikuti sebagian besar pengikutnya, sebagian bermukim disana. Dan sampai ditempat yang dianggap tepat, beliau kembali membuka hutan dan membangun pemukiman. Tempat pemukiman baru ini, disebut Desa Puakan. Puakan berasal dari suku kata uak (kata kerja) dalam bahasa Bali; yang berarti buka atau membuka. Ternyata Desa Puakan masih ada saat ini; terletak di sebelah utara Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Gianyar. Karena kemakmuran yang dicapai masyarakat Puakan, desa ini juga dikenal dengan nama Desa Sarwada. Sarwaada; sarwa-ada; serba ada; apapun mudah dicari di Pemukiman para pengikut Maha Rsi Markandheya ini.
Desa Taro juga merupakan desa tua yang tidak bisa dilepaskan, karena temuan beliau. Tempat ini juga mejadi pilihan beliau yang ditemukan karena ketajaman pikiran suci beliau. Pikiran adalah Kayun dalam bahasa Bali; kayun è kayu è (sinonim)Taru è Taro.
Karena beliau memang seorang Yogiswara; dengan mudah beliau menemukan tempat untuk ber-Yoga. Beliau memilih tempat di pertemuan antara dua sungai (campuhan) untuk itu. Tempat suci itu kemudian disebut Puncak Payogan atau Pura Gunung Lebah serta pemukiman disekitarnya sampai sekarang disebut dengan Desa Campuhan, di Kecamatan Ubud; Gianyar.
Beliau juga membangun tempat pertapaan di tepi sungai Oos, sebuah Vihara, pesraman Maha Rsi Markandheya. Dan disebelah barat tempat ini beliau bersama pengikutnya juga berhasil membangun Pura untuk mengingatkan beliau kepada pertapaan di Gunung Raung. Pura ini disebut dengan Pura Murwa. Didalamnya ada Bale Agung yang (Balai-panjang)nya dibangun dari dua ‘kayu-utuh’ sangat panjang. Konon kabarnya dibawa dari Gunung Raung.
Selain beliau membangun banyak tempat suci, beliau juga mengajarkan tata-cara bersembahyang dengan memanfaatkan tiga unsur; yaitu: api, kembang dan air. Rupanya ajaran Waisnawa ini terus berkembang. Dikabarkan pada Caka 858 (936 M) bulan (hindu) Palguna, pinanggal 3, paro-terang; saat Raja Ugrasena memerintah Bali; ada sekelompok Warga Bhujangga Waisnawa menuju daerah Tamblingan; dimana mereka bermukim dan membangun Pura dan pasraman. Dan ada juga diberitakan; kemudian sebagian dari mereka pergi ke Bantiran, Pupuan, Tabanan dan Sukawati, Gianyar.
Menurut Buku pelajaran Agama Hindu, untuk Siswa SMA dan SMK, menyatakan bahwa berdasarkan Markandheya Purana beliau datang ke Bali sekitar Abad ke IV-V Masehi (Sudirga, Ida Bagus dkk; 2007; hal 25); dan menurut buku Bhujangga Dharma; beliau Maha Rsi Markandheya datang ke Bali pada abad ke IX (Raka Santri  dkk, 1989; hal 32).
Sedang mengenai tempat Suci atau Pura yang dibagun bersama pengikut beliau adalah Pura Gunung Lebah atau Puncak Payogan, Pesraman Goa Raksasa di tepi sungai Oos, Pur Murwa di Payangan dan Pura Sabang Dahet di Desa Puakan(Ginarsa, Ketut 1979,10-11)  
Pura lain yang juga dibanguna adalah Pura lempuyang dan Pura Andakasa di Karangasem; Pura Sukawana di Bangli dan Pura Batu Karu di Penebel, Tabanan (Sudirga Ida Bagus; hal 25)



MPU KUTURAN
Menurut Lontar Kerta Bhujangga; di Bali pernah hidup seorang Rsi; pendeta penganut Waisnawa; Ida Rsi Wisnu Sunya Murti. Setelah wafat beliau distanakan di Pura Jati, di dekat Danau Batur Kintamani. Memiliki dua orang putra; bernama Mpu Kuturan dan Mpu Beradah. Tentu beliau berdua pernah hidup di Bali dan kemudian rupanya hidup di Jawa.
Mpu Kuturan dan Mpu Beradah masih dikenang masyarakat sampai kini, baik masyarakat Jawa dan terutama masyarakat Bali. Keduanya merupakan tokoh penting didalam ceritera rakyat; Serat Calon Arang. Tokoh utamanya adalah “Rangda ing Dirah”; Janda dari Dirah ini tercatat dalam sejarah sebagai Ratu dari Selatan yang sulit di tundukkan Airlangga; saat berupaya mengembalikan keutuhan kerajaan Medang yang terpecah. Mpu Kuturan adalah suami Ratu tersebut dan memiliki putri bernama Ratna Mangali.
Usaha Raja untuk menundukkan Ratu ini cukup alot dan panjang; berakibat cerainya Mpu Kuturan dengan istrinya. Karena itulah Ratu ini dikenal dengan Rangda dari Dirah. Namun berkat melibatkan adiknya Mpu Beradah suasana mulai mencair. Mpu Bahula anak dari Mpu Beradah berhasil memperistri Ratna Mangali. Di Bali ceritra ini dimaknai sebagai Rwa Bhineda; pertarungan antara kebaikan dengan keburukan yang tiada berakhir.
Didalam desertasi Antropolog Belanda yang mengabdikan  diri dan mengakhiri hidupnya di Bali; Dr. Rudolf Goris; menyatakan bahwa Mpu Kuturan datang ke Bali pada pemerintahan Raja Erlangga (1019-1042)  di Jawa Timur, sedang di Bali pada saat itu memerintah adik dari Erlangga; yang bergelar Paduka Haji Sri Dharmawangsa wardhana Marakatapangkaja sthanottunggadewa (1022-1026).  Ada juga pendapat bahwa Mpu Kuturan ke Bali pada jaman pemerintahan Mahendradatta dan Udayana.
Muncul pertanyaan;“Kapan Mpu Kuturan kembali ke Bali dan untuk apa dia datang kembali ke Bali?”
Waisnawa telah berkembang sejak  abad-ke 9 di Bali, seperti diungkap oleh Goris, dan terjadi sinkretheisme antara Hindu (Waisnawa, Siwa) dengan Buddha. Hal ini memperkuat dugaan bahwa apa yang terungkap dalam Prasasti Sukawana (Bangli) bertahun Isaka 804 (882 M); dimana 3 pendeta didorong dan diberi ijin Raja untuk bekerja-sama membangun pertapaan di Cintamani adalah Pendeta Waisnawa, Siwa dan Buddha.
Dengan demikian sebelum Dinasty Warmadewa yang diawali Raja Sri Kesari Warma-dewa (914M) sampai Raja terakhirnya Śri Suradhipa (1115-1119M); telah berkembang pesat Sekta Waisnawa di kerajaan ini. Hal ini diperkuat lagi oleh berperanannya para Pendeta Sekta Waisnawa sebagai Puruhita atau penasehat Raja, hampir sepanjang disnasti ini
Dharmodayana Warmadewa (989-1011) Raja ke-7 dari Dinasty ini, yang memerintah Bali bersama istrinya yang bernama Mahendradata. Ternyata Ratu yang bergelar Sri Mahen-dradata Gunapriya Dharmapatni ini lebih berkuasa dari suaminya. Hal ini terbukti bahwa didalam prasasti namanya selalu disebutkan lebih awal dari Raja Udayana. Ratu ini adalah saudara dari Raja Dharmawangsa dari Kerajaan Medang di Jawa Timur. Dan keduanya adalah putra dari Makutha-wangsa-wardhana, keturunan Mpu Sendok (Wangsa Isana).
Sang Ratu wafat pada tahun 1007, saat melahirkan putra ketiganya, Anak Wungsu. Dan pemerintahan dilanjutkan oleh suaminya. Beliau kemudian disemayamkan di Bhurwan dekat Banyuweka; tepatnya di Pura Durga Kutri Buruan Gianyar sebagai Dhurga Bhairawa. Hal ini menunjukkan bahwa dalam hidupnya beliau adalah penganut aliran Bhairawa. Karena kekuasaan Ratu sangat menonjol maka sangat mungkin Aliran Bhairawa menjadi Agama kerajaan yang mendesak Ajaran Waisnawa yang telah ada sebelumnya.
Prasasti Pucangan yang dikeluarkan Airlangga tahun 1041; menyampaikan bahwa dirinya adalah Raja Medang di Jawa Timur; anggota keluarga Dharmawangsa Teguh dan putra dari Ratu dan Raja Bali diatas.
Pada usia 16 tahun; Erlangga diboyong ke Jawa untuk dikawinkan dengan putri paman-nya; Raja Dharmawangsa. Dapat dipastikan keberangkatannya dari Bali ke ibukota Medang (sekitar Jombang), tidak sendirian. Disamping dijemput oleh utusan Medang, dia juga diantar oleh prajurit pilihan Bali yang dipimpin langsung oleh Norotama; orang kepercayaan ayahnya. Terbukti memang mereka adalah prajurit setia. Prasasti Pucangan, menyatakan bahwa pada saat upacara perkawinan Airlangga; keraton Medang di Wwatan diserbu prajurit Wurawari yang berasal dari Lwaram (sekarang desa Ngloram, Cepu, Blora); kaki tangan musuh besar Dharmawangsa dari Sri Wijaya. Berkat kesigapan mereka sepasang Penganten Baru itu dapat diselamatkan; namun Maha Raja Dharmawangsa mati terbunuh dalam pralaya itu.
Setelah digembleng Narotama selama 3 tahun di tengah hutan, datang para pemuka Agama dan pemuka masyarakat menjemputnya untuk dijadikan Raja. Akhirnya pada th 1019 Airlangga dikukuhkan menjadi Raja Medang di Halu; bergelar Rake Halu Sri Lokeswara Dharmmawangsa Airlangga Anantawikrama Utunggadewa.
Pada awal pemerintahan; tugas utama Airlangga adalah mempersatukan kembali wilayah kerajaan mertuanya yang terpecah belah. Musuhnya adalah Raja Wurawari, Raja Wanita dari Selatan, Raja Wijaya dari Wengker dan Raja Bhismaprabawa. Erlangga berhasil mememerangi semua musuhnya. Seperti diuraikan diatas Ratu dari selatan agak alot ditundukan. Sedangkan raja Wurawari tunduk berkat perkawinan Airlangga dengan putri Sri Wijaya yang beragama Buddha.
Dibawah raja bijaksana ini kerajaan Medang menjadi maju. Narotama pelindung sekaligus pembimbingnya; diangkat menjadi Rakryan Kanuruhan (Soekmono R, hal 56). Pada masa pemerintahannya tumbuh dan berkembang Agama dan kesusastraan yang dijamin dan dilindungi oleh Kerajaan. Agama dimaksud adalah Waisnawa, Siwa, Buddha dan Rsi (Maha-brahmana). Dan pada jaman inilah juga muncul istilah Sang Trini atau Tri Sadaka (di Jawa); yang bertugas memimpin upacara-upacara besar dan atau upacara Kerajaan. Berbagai kesusatraan berkembang pada jaman ini; antara lain Arjuna Wiwaha yang ditulis oleh Mpu Kanwa.
Pada akhir pemerintahannya Airlangga ditasbihkan menjadi Rsi oleh Mpu Bharada dengan bhiseka Rsi Gentayu atau Jatiningrat. Dan setelah meninggal digambarkan sebagai Wisnu duduk diatas Garuda. Namun sebelumnya; dia sempat membagi kerajaannya menjadi dua, yaitu Kediri dan Kahuripan. Hal ini terjadi karena putrinya (Chili Suci) yang disiapkan untuk meganti dirinya malah memilih menjadi pertapa sehingga kedua saudara tirinya serentak ingin menjadi raja. Alasan lain karena niatnya untuk menempatkan salah seorang putranya untuk memerintah di Bali ditolak secara halus oleh Mpu Kuturan karena Anak Wungsu telah siap menjadi Raja
Disisi lain Prasasti Sembiran III, bertahun saka 938 (1016) yang di keluarkan Ratu Sri Ajnadewi; menunjukkan bahwa Udayana digantikan oleh seorang Ratu. Namun tidak diketahui asal-usulnya.  Ada lagi Prasasti Besakih, Batu Madeg yang sesunguhnya berangka tahun 1393 Saka tetapi di dalamnya disebut-sebut‘prasasti lebih tua’ yang bercandra sangkala nawasanga-apit-lawang (929 Saka); Prasasti yang terbit pada masa pemerintahan Mahendradatta. Penduduk setempat menyebut prasasti itu sebagai “Mpu Bradah”, tokoh dalam cerita Calon Arang (Goris, 1965 : 23 ; cf. Poerbatjaraka, 1926 : 115-145). Sekarang timbul pertanyaan, mengapa prasasti itu disebut Mpu Bradah? Goris cenderung berpendapat bahwa Gunapriyadharmapatni mangkat ketika melahirkan Anak Wungsu sehingga kedatangan Mpu Baradah ke Bali pada tahun Saka 929 (1007) betul-betul sangat penting (Goris, 1957 : 20)

Dari uraian diatas dapat ditarik benang merah, sebagai berikut:
  1. Mpu Kuturan kembali ke Bali pada jaman Airlangga (1019-1042). Airlanga baru berangkat ke Jawa tahun 1016; sedang Ayah dan Ibunya memerintah tahun 989-1011 dan Anak Wungsu memerintah 1049-1077. Jadi yang memerintah di Bali saat Mpu Kuturan datang adalah Raja Marakata (1022-1026) dan bukan Raja Udayana atau Anak Wungsu. Perhatikan tahunnya
  2. Setelah wafatnya Udayana (1011) terjadi kesenjangan di Bali. Airlangga pada saat itu berumur 11 tahun; sedang Anakwungsu baru berumur 4 tahun. Mari kita cermati:
  • Sejak Abad ke-9 di Bali telah berkembang Ajaran Waisnawa; dan mengakar pada Dinasty Warmadewa. Dibawa oleh Airlangga ke Medang; makin meresap saat digembleng oleh Narotama selama 3 tahun dalam pengungsian, dan akhirnya dia menjadi seorang Rsi Waisnawa setelah mundur dari pemerintahanya.
  • Disisi lain Ibunya membawa ajaran Bhairawa dari Medang ke Bali. Perhatikan di Jawa ada Rangda ring Dirah. Dan Mahendradatta setelah meninggal distanakan sebagai Durga Bhairawa.
  • Menurut R. Goris pada jaman Ratu ini telah berkembang 9 sekta Agama; Waisnawa, Rsi, Siwa Sidanta, Pasupata, Bhairawa, Brahmana, Sora(Surya), Ganapatya, Bodha (Sogata).
  • Para akhli sejarah sepakat bahwa Mpu Kuturan berhasil memfusikan ke-9 aliran ini menjadi 3 saja; yaitu Budha, Waisnawa dan Siwa dengan Tri Murti sebagai konsepnya. Sehingga Masyarakat Bali sampai saat ini mengenal “Kahyangan Tiga” di tiap Desa dan pelinggih “Rong Telu” sebagai stana Brahma-Wisnu-Siwa, di tiap Rumah Tangga.
  • Airlangga lahir th 1000 dan Anakwungsu th 1007, berarti Marakata lahir antara th 1002 dengan th 1006 M atau berusia 5 atau 9 tahun pada tahun 1011.  
  • Dharmawangsa sebagai Raja atasan tentu telah menetahui keadaan Bali dari laporan kunjungan Mpu Beradah saat Mahendradatta wafat. Menyusul berita wafatnya Udayana (1011), membuatnya berpikir keras demi utuhnya Pengaruh Medang terhadap Bali.
  • Demi utuh pengaruhnya itulah rupanya Dharmawangsa membuat program matang tentang Bali; dengan mengangkat salah seorang anaknya (kerabatnya) Sri Adnyadewi menjadi Ratu Bali tahun 1016; sekaligus memboyong Airlangga untuk dijadikan menantu
  • Disisi lain para tokoh kerajaan dan rakyat penganut Waisnawa yang merasa terdesak (terpinggirkan) pada masa pemerintahan Mahendradatta; bangkit sejak Mahendradatta wafat (1007). Dengan diangkatnya Ratu baru dari Jawa ini mereka menjadi tambah gigih.
  • Terjadilah kekacauan akibat Ratu baru yang diperparah dengan persaingan antara agama lama (Waisnawa) dengan yang baru (Bhairawa).  Keadaan ini diperkuat oleh Prasasti Sembiran III; dimana dinyatakan bahwa:” Desa Julah diserang lagi oleh penjahat. Banyak penduduk mati, ditawan musuh, atau mengungsi ke desa lain. Penduduk semula sebanyak 300 KK, tersisa hanya 50 KK. Oleh karena itu, sang Ratu memberi keringanan kepada penduduk Desa Julah dalam hal kerja gotong royong dan pajak (Goris, 1954a: 95).”
  • Inilah rupanya alasan Airlangga mengirim Mpu Kuturan yang telah berpengalaman di Medang untuk mengatasi kekacauan Kerajaan Ayahnya di Bali (1022-1026).
  • Seolah terjadi kekosongan selama 23 tyahun antara 1026-1049; maka raja yang memerintah Bali pada saat itu adalah raja lemah atau berganti-ganti (terjadi kekacauan) sehingga tidak sempat membuat catatan-catatan penting dalam bentuk Prasasti
  • Dapat diduga proses pematangan kosep Tri Murti Mpu Kuturan itu terus berjalan sampai akhir pemerintahan Airlangga dan diangkatnya Anak Wungsu menjadi raja. Raja Anak Wungsu (1049-1077) tercatat sebagai Raja yang sukses.
IDA RSI MUSTIKA
Setelah Raja Bali Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten yang (berbeda) berseberangan dengan (Majapahit) hulunya, dengan susah payah Bali ditaklukan oleh Maha Patih Gajah Mada pada tahun 1343M; Bali tetap dalam keadaan kacau; karena terjadi banyak pemberontakan, tidak terima dipimpin Majapahit. Akhirnya sebagian tokoh Bali yang tidak ingin tetap kacau mengirim utusan ke Majapahit; agar Bali dipimpin langsung oleh pejabat keturnan Raja-raja Bali
Baru setelah 9 tahun kemudian, pada tahun Caka 1274 (1352M) dinobatkan Raja Sri Aji Maharaja Kepakisan putra seorang Brahmana Waisnawa dari Kediri (Keturunan Erlangga). Kedatangan beliau ke Bali didampingi Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Mustika, yang juga dikenal dengan Rsi Semaranata; sebagai Puruhita atau Pendeta Penasehat Raja. Bersama beliau menurut Babad Dalem Tarukan, ikut juga dua orang penganut Waisnawa lainnya, yaitu Danhhyang Subali dan Danghyang Jaya Rembu serta para Arya lain, menyusul para Arya yang telah ada sejak 1343 M. Dan Rombongan terakhir mendarat di Pantai Rangkung, yang sekarang dikenal dengan pantai Lebih. (Sudira Pering; 2005, hal 3-4). Raja Sri Kresna Kepakisan dilantik menjadi raja dan berkedudukan di area bekas perkemahan pasukan yang dipimpin Mahapatih Gajah Mada saat menyerang kerajaan Bedahulu; Samprangan.
Dan kerajaan Samprangan didukung dan diperkuat oleh para Arya yang disamping ada di Samprangan; ada di 8 (delapan) tempat strategis di seluruh Bali, tepatnya di perkemahan laskar-laskar Majapahit sebelumnya. Para pemimpin itu adalah Arya Kanuruhan, Arya Wang Bang, Arya Kenceng, Arya Dalancang, Arya Belog, Arya Manguri, Arya Kuta Waringin, Arya Gajah Para (di Toya Anyar/ Tianyar, Karangasem).
Suatu saat Sri Kresna Kepakisan dengan Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Mustika menuju Silangungang; yang kemudian membangun tempat Suci yang disebut dengan Batu Nguwus; dengan pemandangannya yang sangat indah Disebutkan juga di Seseh beliau membangun tempat pemujaan Sang Hyang Anantadi dan Sang Hyang Samudra; menunjukan beliau sebagai pasangan yang serasi. Dari seni pasangan serasi ini ke ujung selatan Bali; Pecatu. Dan dalam perjalanan kembali ke Puri Samprangan beliau melewati Pantai Lebih.
Digambarkan pula Raja ini membangun masyarakatnya dengan menata pemukiman dan pertanian; persawahan dan pegagan (kebun). Demi kesuksesan pekerjaan besar ini Ida Rsi Mustika mendapat tugas melakukan upacara Boganan lan Angkus, dengan memanfaatkan Panca Bajra.
Sri Kresna kepakisan tercatat memerintah 1352-1371M, selanjutnya digantikan oleh putra beliau pada tahun 1372; dengan Bhiseka Agra Samprangan. Raja ini dikenal dengan raja pesolek sehingga tidak disenangi oleh rakyat dan pejabat kerajaan; karena tidak memperhatikan jalannya pemerintahan. Akhirnya Patih Samprangan yang berkedudukan di Gelgel menobatkan adik beliau Ida Dalem Ketut Ngelesir menjadi raja dengan gelar Sri Asmara Kepakisan. Sehingga Bali memiliki pemerintahan kembar; satu di Samprangan dan satunya lagi di Gelgel. Dan akhirnya Agra Samprangan berkenan mengundurkan diri; sehingga secara resmi Sri Asmara Kepakisan memerintah Bali (1380-1460); dan pusat pemerintahan pindah ke Gelgel.
Pada tahun 1398, saat pemerintahan putri Hayam Wuruk; Kesumawardhani (1389-1426); beliau memerintahkan Sang Wijaya Rajasa Raja dari Wengker untuk mendampingi Raja Bali. Pemerintahan Sri Asmara Kepakisan Yang didampingi Puruhita Waisnawa, ternyata maju dan berhasil merebut kembali hati rakyat Bali, dengan membangun patung untuk menghormati Raja Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten di Tegeh Koripan, Gunung Penulisan pada 4 April 1430 (sesuai catatan dibelakang patung.); dan membangun Pura Dasar Gelgel yang dihormati seluruh lapisan masyarkat (sekta yang ada).  
Diceritakan Ida Rsi Mustika meninggalkan hutan Jenggala menuju ke timur dan sampai di suatu tempat yang kemudian dijadikan tempat bermukim. Tempat itu kemudian dikenal masyarakat dengan se-ungguan (tempat suci) di (Sela-pegat) Lepang. Setelah tua beliau pergi ke Besakih mendirikan Pesraman; dan akhirnya lebar dilingkungan Suci tersebut. Kemudian oleh keturunan beliau, Maha Warga Bhujangga Waisnwa, beliau distanakan di Pedharman Bhujangga Waisnawa di Pura Besakih, Rendang; Karangasem. Pura Pedharman ini disembah oleh semua keturunan beliau, Maha Warga Bhujangga Waisnawa

Putra beliau Ida Bagus Angker sempat hidup di Lepang, kemudian pergi ke daerah pegunungan di Tabanan. Pesraman beliau disebut Gunung Sari (Giri Kesuma) dan pemukiman tempat melayani para pengikut beliau dikenal dengan Jati Luwih. Ketaatan beliau menjalani tapa brata sangat berhasil dan setelah beliau melaksanakan Diksa Viddhi beliau ber-bhiseka Ida Bhagawan Rsi Canggu.
Pada tempat itu juga Ida Bhagawan Rsi Canggu bersama Arya WangBang mendirikan tempat Suci yang diberi nama Pura Petali (petalian=paiketan, persatuan); disungsung Masya-rakat dan Pemerintah Tabanan. Dari pesraman Giri Kesuma beliau pergi ke dekat pesisir Kediri Tabanan, dan mendirikan Pra Kalipisan di Desa Nyitdah. Disini beliau hidup bersama keluarga; dan memiliki 4 orang; 3 orang putra dan seorang putrid.
Seorang dari putra beliau Ida Bhujangga Guru kemudian menjadi Puruhita di kerajaan Gelgel; dan mengambil putri Dalem Waturenggong menjadi istri yang kemudian hidup menetap di Pesraman Gunungsari Jatiluwih.
Belakangan Pesraman ini menjadi Pura Luhur Bhujangga Waisnawa Gunung Sari. Dan disana diyakini berstana 13 orang Ida Rsi Bhujangga Waisnawa; seorang dari beliau adalah Ida rsi Bhujangga Waisnawa Istri. Tentu termasuk diantara beliau adalah Ida Bhagawan Rsi Canggu dan Ida Bhujanga Guru (Ida Rsi BW Guru)


SEJARAH PURA DALEM PAUMAN PADANG ENTAS


Ada sebuah Pura, hanya sekitar 200 meter di sebelah tenggara dari Pura Desa Denpasar. Persisnya di belakang deretan toko-toko Jalan Sulawesi. Dikelilingi jalan dan gang; disebelah utara jalan Pulau Ternate, disisi timur dan barat gang; dan disebelah selatan Jaba Pura yang menyatu dengan gang. Tempat ini cukup lapang sehingga sering menjadi tempat melaksanakan berbagai kegiatan yadnya dan kegiatan lainnya seperti pertunjukan kesenian.
Pura ini dulu memanjang ke barat, Jaba Sisinya sampai di tepian Tukad Badung, di sebelah selatan Jalan Gajah Mada sekarang. Bagaimanakah Sejarahnya?
Para Sejarawan kita mengungkap, sejak jaman Bali Kuno, Bali telah memiliki hubungan dengan Jawa. Seorang putra Bali, Raja Sri Dharma Udayana Warmadewa mempersunting putri kerajaan Mataram kuno, bernama Mahendradatta; kemudian berputra tiga orang; Airlangga, Marakata, Anak Wungsu.
Pada tahun 1284 Bali pernah diserang prajurit Raja Kerta Negara dari Kerajaan Singasari; dan pada tahun 1343 ekspedisi Gajah Mada menundukkan Raja Sri Asta Sura Ratna Bhumi Banten (Bedaulu), namun rakyat Bali tidak menerima keadaan itu. Dan tetap melakukan perlawanan terhadap pendudukan prajurit Majapahit, sehingga Bali gonjang-ganjing sekitar 7 sampai 9 tahun. Bali merasa masih ada dibawah lindungan Daha, yang masih keturunan Raja Dharma Udayana Warmadewa (989-1011), walaupun Daha telah ditundukkan Raden Wijaya pada tahun 1293 dalam usaha mendirikan Kerajaan Majapahit.
Akhirnya para pemuka Bali Aga yang mengetahui betul permasalahan yang sesungguhnya memberanikan diri menghadap ke Majapahit untuk meminta pemimipin yang dapat diterima rakyat Bali. Buku Sejarah Perkembangan Agama Hindu di Bali, mengungkap sebagai berikut:
Untuk menjaga keutuhan Bali, Patih Ulung, Arya Pemacekan dan Arya Kepasekan memberanikan diri menghadap ke Majapahit, bertujuan  memohon supaya diadakan wakil raja di Bali yang mampu mengatasi ketegangan antara prajurit Majapahit dan orang-orang Bali Aga. Akhirnya Gajah Mada atas restu Ratu TriBhuwana Tunggadewi mengangkat putra Mpu Kepakisan yang bernama Mpu Kresna Kepakisan seorang Keluarga Brahmana berasal dari Daha. (Tim. 1985/1986: 66)
Setelah resmi menjadi raja berkedudukan di Samprangan; status brahmana beliau (Mpu) diubah menjadi kesatrya; Sri Kresna Kepakisan.
Kita masih ingat kerajaan Panjalu yang istananya di Kahuripan[1]; dipecah dua karena kedua putra Airlangga berebut menjadi raja, setelah Chili Suci, putri tertuanya yang telah disiapkan, menolak menjadi Ratu dan malah memilih menjadi pertapa (Rsi). Jadi Mpu Kepakisan adalah Brahmana dari lingkungan keluarga Airlangga, putra Bali yang menjadi Raja di Jawa Timur.
Tentang kekacauan ini, “Bhuwana Tatwa” mengukap lebih lengkap; karena lama tidak ada raja, menyebabkan Bali menjadi kacau-mencekam, sunyi dan sepi. Setelah itu, sejak tahun isaka 1272 (1350 M) Sri Aji Maharaja Kepakisan seorang rohaniawan Kediri oleh Kriyan Patih Gajah Mada dinobatkan menjadi raja Bali. Didampingi Ida Rsi Waisnawa Mustika; yang juga bernama Ida Rsi Semaranata. Perlengkapan keraton, pakaian kebesaran kerajaan dan keris si Ganja Dungkul melengkapi kewibawaan beliau di Bali. Sedangkan Ida Rsi Waisnawa Mustika sebagai pendamping raja juga membawa senjata lengkap, diantaranya Panca Bajra (bajra oter, bajra padma, bajra orag, bajra katipluk, bajra sungu); berbagai Kitab Suci (seperti weda bhumi tua, bhumi kemulan, reg weda, yayur weda serta doa-doa penghantar atman, antara lain bwat-sot, pralina, pangentas); dan wariga (cara menentukan hari baik) selengkapnya. (Ginarsa, 1979; 21)
Dari uraian diatas dapat ditarik benang merah, bahwa Ida Rsi Waisnawa Mustika sejatinya menjadi pendamping Pendeta keturunan Raja Airlannga, dinobatkan menjadi raja Bali oleh Maha Patih Gajah Mada di Istana Samprangan.
Selanjutnya setelah ‘mokhsa’, Ida Rsi Mustika distanakan di Pedharman Bhujangga Waisnawa, Besakih dan disembah oleh Maha Warga Bhujangga Waisnawa. Putra beliau Ida Bagus Angker, berdomisili di Jatiluwih, kemudian menjadi pendeta, yang ber-‘bhiseka’ Ida Bhagawan Rsi Canggu. Dan setelah pralina beliau distanakan di Pura Luhur Kawitan Bhujangga Waisnawa Gunung Sari di Desa Jatiluwih.

Sri Kresna Kepakisan didalam pemerintahannya dibantu para Arya Daha dan Majapahit, tentu kesetiaannya terhadap Majapahit tidak diragukan, dan pemerintahan menjadi sangat stabil. Apa lagi menurut buku “Sejarah Bali” Sang patih Agung adalah Arya Kepakisan keturunan dari Sri Airlangga yang memerintah di Jawa Timur sejak 1019-1042M (Tim. 1986; 124).
Nampak sekali bahwa masyarakat Bali saat itu merindukan pemimpin keturunan Bali, sehingga kerajaan saat itu kental dengan nuansa Waisnawa. Dan ternyata dinasti Kepakisan ini berkuasa sekitar 556 tahun; tepatnya baru berakhir awal abad ke-20, yang ditandai dengan perang Puputan Klungkung tahun 1908.
Setelah 23 tahun berkuasa Raja pertama Dinasti Kepakisan ini diganti putra sulungnya; Dalem Agra Samprangan, tetapi raja muda ini gagal dalam pemerintahan, lemah, lamban, sangat tidak berwibawa dimata rakyat; gemar bersolek sehingga dijuluki Dalem Ile.
Terjadi perpecahan diantara pejabat pemerintahan, yang semakin memuncak. Demi  keselamatan kerajaan, adik beliau Dewa Tarukan yang tak tertarik menjadi raja mengutus putranya Raden Kuda Penandang Kajar untuk menjemput pamannya Dewa Ketut Ngelesir, namun ditolak. Akhirnya Arya Kebon Tubuh, Bendesa Gelgel berinisiatif menjemput Dewa Ketut Ngelesir dari pengembaraan. Akhirnya bersedia; namun mengendalikan kerajaan dari rumah Bendesa di Gelgel. Bali memiliki raja kembar namun saling menghormati; sampai Agra Samprangan wafat. Dengan demikian kerajaan Samprangan berakhir, muncul Kerajaan Gelgel.

Kresna Kepakisan memerintah tahun 1350-1373, Dalem Ketut Ngelesir memerintah tahun 1380-1460; maka Agra Samprangan menjadi raja paling sedikit selama tujuh tahun. Tujuh tahun kerajaan tak terurus, dan sempat dipimpin raja kembar, jadi kekacauan berlangsung cukup lama.
Saat itu Sang Hyang Sunia Hening dari Majapahit mengutus putranya, Ida Bhujangga Aji Manu untuk menentramkan Bali. Namun karena kekacauan telah meluas sampai pada tingkat pemerintahan terbawah dan menimbulkan banyak peperangan antar banjar atau desa; beliau gagal menanganinya. Menurut buku “Bhuwana Tatwa”, tepat pada hari Raya Galungan tahun 1380 M (Buda Kliwon Dungulan, Titi Sasih Awidia, rah 9, tenggek 1, Isaka 1302, warsa yusaning loka.) kakak beliau menyusul datang ke Bali, dan telah cukup lama ada di Pulaki.  Akhirnya dari Pulaki beliau pindah  ke Baratan. Disana diberi bhiseka Ida Rsi Gede Madura karena berhasil membangun Pura Madura; dan juga Pura Gunung Sari, di Asah Danu. (Ginarsa, K. 1979: 27)
Menyasar masyarakat pantai, pegunungan sekitar danau, diduga beliau telah menerapkan konsep hidup bersahabat dengan Alam; seperti melestarikan Segara, Wana dan Danau. Keberhasilan membangun pura, menandakan beliau sukses membina masyarakat, terutama para pemukanya, menggambarkan kemampuan beliau mensejahterakan masyarakat (Jagat Kertih) dan menciptakan keharmonisan dengan sesama (Jana Kertih). Keberhasilan membangun Pura, juga menggambarkan penerapan Sad Kertih demi menggapai Tri Hita Karana, menjadi lengkap. Diyakini, Ida Rsi Gede Madura selalu mewujudkan swadharma mulia tersebut. Bijaksana, damai dan tulus dalam bertirta-yatra mewarnai pengembaraan beliau di Bali.
“Bhuana Tatwa” kembali mengungkap perjalanan beliau; kali ini ke timur, melalui desa Panghyangan; Teledu-nginyah, Gumbrih; Batu Mejan juga Suryabrata (kini: Surabrata). Setelah meninggalkan Surabrata, beliau akhirnya menetap di Batan Getas. Disana beliau membangun Paryangan Dalem Pauman, sebagai “penyiwian” para Kesatrya, Punggawa dan Brahmana Bhujangga. Kemudian Ida Rsi Madura meninggalkan Batan Getas menuju Baratan, tempat beliau dulu. (Ginarsa, K. 1979:27)
Pura ini  penyiwian para Kesatrya, Punggawa atau pejabat Kerajaan dan para Brahmana Bhujngga, tentu ada yang istimewa disana. Dimana ada semut disana pasti ada gula; sebaliknya dimana ada gula pasti disana ada semut.
Memilih lokasi disekitar mata air atau sungai, sesuai konsep selalu bersahabat dengan alam. Dan sebagai layaknya pura besar lainnya, pura di pinggir Tukad Badung ini juga memiliki Tri Mandala (Jero-Jaba Tengah-Jaba Sisi) dan bagian hulu (Utama Mandala) pura dikelilingi telaga-tujung, sebagai pembatas (penyangga; pekandelan) dengan lingkungan sekitarnya. Dan airnya dari tukad Bulan yang mengalir di sebelah timur Griya. Disejukkan oleh rimbunnya pohon mangga disekitar pura; sehingga menjadi ciri dari pura. Mangga, bahasanya Bali; adalah poh atau getas. Karenanya Pura ini dikenal oleh masyarakat sebagai Pura Batan Getas. Rupanya pengelingsir kita ingin menyampaikan pesan tentang pura ini, yang sejatinya bermakna Padang Entas, Jalan yang  Terang. Peaan ini dikuatkan dengan adanya “patung bermata tunggal” disana.

Patung Ratu Ngurah Agung, Netra Tunggal
Patung inilah yang menjadi ciri dari Pura Waisnawa ini. Meyakini bahwa mata-tunggal itu adalah “jalan terang”, pintu menuju Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Netra Tunggal bermakna mata ketiga, mata-batin atau mata rohani. Pesan yang disampaikan Ida Rsi Madura inilah oleh para pengelingsir Bhujangga Waisnawa diyakini sebagai cara untuk mencapai kesadaran rohani. Mediksa bagi seorang Waisnwa adalah upaya membuka mata ketiga atau mata batin, lahir untuk kedua kali, Dwijati; mencapai kesadaran rohani.
Mengenai demikian pentingnya Netra Tunggal ini, “Pustaka Usana Bali Usana Jawa” menyebut -nya sebagai ‘Dumen Tanpa Heleng’ dalam sebuah dialog seorang Raja dengan para Arya: “Sebagai sarana bagi Adinda ketika kembali ke daerah asal (Batur Kelawasan), kalau anda meninggal dunia; walaupun tanpa ilmu pengetahuan, Adinda cukup hanya mencipta. Bagaimana caranya?. Kendalikan pernafasan; bila nafas telah tertutup, himpunlah dalam hati sanubari; kemudian tempatkan pada ujung peluru-sumpit; tetap teguh, tanpa ragu, hembuskan melalui ‘Dumen tanpa Heleng’ (sumpit/tulup tanpa lubang). Betul-betul tanpa pikiran, tanpa kesadaran, tanpa mantra, Sang Atman pergi tanpa wahana, suci murni, menyertakan 18 windu gaib ketika rokh suci meninggalkan angga sarira. Adinda harus mengendalikan pernafasan, menutup 9 lubang, jangan sampai menyebar. Jangan menghembuskan nafas selain dari sela-sela kening, dengan cara memusatkan pikiran” (Tim, 1986:109)
Kembali kepada Ida Dalem Ketut Ngelesir, raja pertama yang berpusat di Gelgel ini kemudian diganti oleh putranya Ida Dalem Baturenggong (1460-1550). Sejarah mencatat dibawah raja ini Gelgel mencapai puncak kejayaannya. Dan menurut buku Perjalanan Dang-hyang Nirattha, kedatangan Pendeta Siwa ini di Bali tahun 1489. (Soegianto Sastrodiwiryo. Dr; 2008: 28)
Sejak patih kerajaan, Kryan Agung Maruti membelot menguasai Gelgel (1665-1686), para Arya di seluruh Bali menyatakan bebas-merdeka, terlepas dari Gelgel, jadi kerajaan tersendiri.
Beberapa kerajaan baru dengan pemerintahan yang otonom, dipimpin oleh para Arya dan Ksatriya Dalem, adalah: Karangasem, Sidemen, Taman Bali, Bangli. Bahkan muncul kerajaan-kerajaan besar dan kuat serta tidak mau tunduk pada kekuasaan Gelgel seperti Buleleng, Badung dan Tabanan dipimpin rajanya masing-masing (Tim; 1986: 139). Pada abad ke-19 Bali terbagi menjadi sembilan wilayah kerajaan seperti Buleleng, Jembrana, Karangsem, Mengwi, Gianyar, Bangli, Badung, Tabanan, Klungkung.
Dengan jatuhnya Kerajaan Klungkung tahun 1908 ke tangan pemerintah Belanda melalui perang puputan maka mulailah seluruh Daerah Bali dibawah pemerintahan kolonial Belanda. Namun Bali dinyatakan memasuki Masa Bali Baru, semenjak Bali berkenalan dengan pengaruh dunia barat seperti sistem pendidikan modern, sistem pemerintahan barat dan lain-lainya. Dan dengan jatuhnya Benteng Jagaraga ke tangan Belanda tahun 1846 maka semenjak itu daerah Bali telah bekenalan dengan pengaruh dunia Barat. Karena itu Masa Bali Baru[2] mulai dari tahun 1846 hingga masa pembangunan sekarang (Tim, 1986: 3)
Tanggal 20 Septembet 1906 terjadi Puputan Badung, dan setelah itu Kerajaan Badung praktis sepenuhnya dibawah kendali kolonial Belanda. Pengangkatan Raja dan pejabat-pejabat bawahannya sepenuhnya diatur oleh Belanda. Dan keluarga kita saat itu berada pada posisi sebagai obyek pemerintahan; dan bukan sebagai subyek.
Tak lama setelah itu Kolonial Belanda mulai melakukan penataan kota Denpasar, dan mengambil-alih wilayah perumahan pejabat kerajaan di sebelah barat Lapangan (Kodam IX Udayana dan Dinas PU sekarang) dijadikan pusat pemerintahan dan pembangunan.
Penataan kota merupakan hal yang lumrah, namun yang menyesakan; ternyata penataan ini memakan korban dua pura yaitu Pura Dangka dan Pura Dalem Pauman Padang Entas.
Pura Dangka yang bersebelah dengan Pura Desa, digusur dan dipindahkan ke Banjar Lelangon. Lucunya mereka mengambil bagian teben dari pekarangan rumah sementon Bhujangga Waisnawa dijadikan sebagai lokasi Pura ini.
Bila niat menggusur pura ini bertujuan melenyapkan pura ini, nampaknya mereka berhasil; karena minimal sejak tahun 1950-an pura ini tidak ada lagi kegiatan keagamaan yang menonjol disitu. Bisa jadi para penyiwinya malas atau mungkin segan, bahkan takut melakukan kegiatan ditempat yang baru ini. Pada hal pura ini terdiri dari dua “peleban” dan masing-masing memiliki pintu utama. Tidak pernah ada piodalan atau pujawali; dan setelah ‘tukang sapunya’ (Gung Blet, ayah dari Gusti Ketut Gede, Lelangon ) meninggal, akhirnya sekitar tahun 1964 pura ini dibongkar dan yang melingga di sana “dituntun” ke Pura Desa. Tanah bekas lokasi pura ini telah dijual dan menjadi tanah milik perorangan. Maka lenyaplah keberadaaan pura tersebut dengan segala kegiatan keagamaannya 
Namun usaha pemusnahan gagal dilakukan terhadap Pura Dalem Pauman Padang Entas[3]. Atas kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa dan wara nugraha para Leluhur Bhujangga Waisnawa, pura ini nyatanya tetap eksis sampai detik ini. Rupanya Warga Bhujangga Waisnawa sejak awal telah menentang usaha pemindahan Pura jagat ini ketempat lain. Penolakan tentu tidak bisa dilakukan dengan “demo”, seperti jaman kebebasan saat ini.  Paling dilakukan dengan cara tidak kooratif dengan pihak mereka dan berdoa. Pembongkaran telah dimulai sekitar tahun 1918, dan rencananya “Yang Malingga” disana akan dituntun ke Pura Tambangan Badung, Banjar Pemedilan, Denpasar. 
Seperti diungkap diatas, jelas sekali disampaikan bahwa Pura Dalem Pauman di Batan Getas itu dibangun oleh leluhur Maha Warga Bhujangga Waisnawa; Ida Rsi Gede Madura. Dan lebih lanjut disebutkan juga sebagai “penyiwian” para Kesatrya, Punggawa dan para Brahmana Bhujangga. Memang faktanya sampai pada saat seorang Penglingsir Bhujangga Waisnawa menjadi jaksa di Kerajaan Badung, Pura Dalem Pauman ini masih menjadi penyiwian, tempat bersembahyang para Kesatrya, Punggawa dan Brahmana Bhujangga Kerajaan. Menandakan bahwa pura ini menjadi penyiwian Jagat Badung, dan pura ini juga memiliki prasasti.
Ketika pembongkaran hampir semua pelinggih telah dilakukan, tiba saatnya giliran pembongkaran pelinggih utama, Gedong Agung. Menurut beberapa penglingsir Bhujangga Waisnawa dan tetangga sebelah, termasuk Kak Gede Genjo[4] dari Lukluk-Titih; pada saat inilah timbul masalah bagi para pekerja. Pada saat hampir bersamaan semua pekerja yang membongkar Gedong ini tiba-tiba kesurupan, massal dan keadaan menjadi kacau; pekerjaan mandeg. Pekerja lain menjadi sibuk tak jelas, bingun; ada yang berusaha menenangkan yang kesurupan, ada juga yang takut, tak berani berbuat apa-apa, menjadi penonton saja. Dan praktis pekerja berhenti total. Sampai-sampai petugas orang Belanda ikut didatangkan untuk mengakhiri kesurupan masal tersebut, dan kesurupan tetap berlangsung dalam waktu yang lama. Kejadian mengegerkan itu berkepanjangan; setiap pekerja mencoba ikut membongkar, ikut kesurupan. Pekerjaan pembongkaran Gedong Agung dihentikan. Dan akhirnya semua pembongkaran diputuskan untuk dihentikan. Tentu keluarga Bhujangga Waisnawa tahu hal itu, tetapi lebih menjadi penonton pasif, tidak ikut campur urusan kesurupan. Puncaknya Belanda membatalkan usaha pemindahan pura ini ketempat lain.
Sejak awal Pura Dalem Pauman ini adalah tempat masyarakat memohon Tirta Pengentas untuk Pitra Yadnya. Diyakini sebagai pembuka “Jalan Terang” bagi atman sang lampus menuju tempat terakhirnya. Padang Entas bermakna “Jalan yang terang”. Karena itu dusekitar Pura atau di Jaba Sisi pura ditanami pohon mangga. Pohon Mangga = getas. Sehingga Masyarakat lebih menganal wilayah pelemahan pura ini sebagai Batan Getas



[1]Ibu kota kerajaan sering berpindah-pindah. Istana Dharmawangsa di Wwatan Mas, jug jadi istana Airlangga, walau dia dilantik di Halu. Menurut prasasti Terep tahun 1032, karena diserbu musuh; Airlangga menyingkir ke Patakan (istana sementara), sebelum akhirnya menundukan Raja Wara-wuri. Namun Airlangga tidak kembali ke Wwatan Mas, tapi menempati istana baru di Kahuripan. Pada tahun 1042, saat kerajaan Panjalu dipecah dua, Istana Kahuripan dijadikan pusat kerajaan-timur yang bernama Jenggala dan Panjalu yang juga bernama Kediri menjadi kerajaan barat, berpusat di istana baru yang bernama  Dahana Pura atau Istana Daha.
[2] Berdasarkan peninggalan-peninggalan yang ditemukan maka Perkembangan Sejarah Bali dari masa yang tertua sampai masa sekarang secara garis besar dapat dibagi atas empat zaman yaitu: 1. Zaman Pra Sejarah; 2. Zaman Bali Kuno; 3. Zaman Bali Pertengahan dan  4. Zaman Bali Baru
[3] Sejak awal Pura Dalem Pauman ini adalah tempat masyarakat memohon Tirta Pengentas untuk Pitra Yadnya. Diyakini sebagai pembuka “Jalan Terang” bagi atman sang lampus menuju tempat terakhirnya. Padang Entas bermakna “Jalan yang terang”. Karena itu dusekitar Pura atau di Jaba Sisi pura ditanami pohon mangga. Pohon Mangga = getas. Sehingga Masyarakat lebih menganal wilayah pelemahan pura ini sebagai Batan Getas
[4]Kak Genjo, pungkusan dari ayahnya Pak Puger dari Lukluk, sebelah selatan kompleks Perumahan Warga Bhujangga Waisnawa di Batan Getas