Nama Maha Rsi Markandheya sudah sangat
akrab dengan masyarakat Bali. Beliau dikenal sebagai seorang Maha Rsi yang pertama
datang ke Bali demi keselamatan umat manusia. Menanam Panca Datu di sebuah
tempat di pinggang Gunung Agung, dimana sekarang diatasnya telah dibangun Pura
Basuki; cikal bakal pembangunan Pura terbesar di Bali. Membuka hutan demi
pertanian dan demi kesejahteraan para pengikutnya.
Bila dicermati lebih dalam; Beliau
adalah cucu buyut atau kompyang dari seorang Rsi yang bernama Sang Hyang Meru; kakek atau Kakyang
beliau bernama Sang Niata; ayah
beliau Sang Markanda dan memiliki seorang
ibu yang sangat cantik bernama Dewi
Manaswini.
Sejatinya beliau bagian dari sebuah
keluarga besar. Saudara tua dari kakyang beliau bernama Sang Ayati, yang
mempunyai putra bernama Sang Prana. Maha Rsi Markandheya kawin dengan Dewi Dumara; dan mempunyai seorang putra
yang dikenal dengan nama Hyang Rsi Dewa Sirah. Kemudian Hyang Rsi Dewa
Sirah kawin dengan Dewi Wipari; yang juga menurunkan putra-putri. Demikian
menurut Buana Tattwa Maha Rsi Markandheya berbahasa Kawi yang disusun oleh
Ketut Ginarsa seorang asisten dari DR. R. Goris akhli arkeologi Belanda yang
mengabdikan seluruh hidupnya sampai mati di Bali.
Beliau; Maha Rsi Markandheya adalah
leluhur kami yang telah moksah, menyatu dengan Ida Sang Hyang Widhi, yang kini
selalu dikenang, dipuja dan dihormati oleh keturunan beliau; Maha Warga
Bhujangga Waisnawa.
Berawal dari tempat pertapaan beliau di
sebuah gunung bernama Wukir Damalung di pegunungan Di Hyang (Dieng), Jawa
Tengah. Belau adalah seorang Yogi Besar, sehingga disebut Sang Yogiswara. Suatu
saat; karena memang kehendak Hyang Widhi beliau melakukan perjalanan kearah
timur dari pertapaan beliau, dan tiba di Gunung Raung di pegunungan Ijen, Jawa
Timur. Disana ternyata beliau membangun Asrama dan bangunan suci tempat memuja
Ida Hyang Widhi. Rupanya beliau diterima oleh masyarakat disana; sehingga
memiliki banyak pengikut. Namun tidak diketahui dengan jelas berapa lama beliau
lama menetap disana.
Suatu saat beliau akhirnya memutuskan
untuk melanjutkan perjalanan ke-arah Timur ke Pulau di seberang lautan.
Perjalan saat itu menjadi perjalanan sangat bersejarah karena diikuti oleh
sekitar 800 orang Jawa Aga (Jawa Pegunungan), pengikut setianya. Semacam Bedol
Desa.
Perjalanan sampai di daerah pegunungan
sisi timur Bali; dimana beliau menemukan bangunan suci, Batu berundag. Tempat ini
diberi nama To Langkir; artinya Orang Suci, roh suci atau yang disucikan.
Tempat ini akhirnya dipelihara-dipugar oleh Maha Rsi Markandheya. Dan ditempat
ini beliau mulai menetap bersama para pengikut beliau, dan mulai membuka hutan
dengan maksud untuk tempat bercocok tanam.
Perjalanan beliau dari Gunung Raung, Jawa
Timur sampai di bagian timur Pulau Bali ini, adalah perjalanan panjang yang
memakan waktu berbulan-bulan. Dan ternyata banyak pengikut beliau yang
menderita sakit dan bahkan mati akibat menemukan berbagai rintangan ditengah
hutan belantara Bali pada saat itu. Karena itu, akhirnya memutuskan untuk
kembali ke Gunung Raung. Entah berapa lama beliau berada disana akhirnya kembali
ke Bali setelah mendapat petunjuk niskala dalam tapa-brata; dengan membawa para
pengikut beliau. Sejarah mencatat pengikut beliau saat itu tidak sebanyak
pengkut sebelumnya, hanya sekitar 400 orang saja.
Perjalan baru ini bukan tidak mendapat
halangan, tapi karena sudah berpengalaman korban tidaklah sebanyak sebelumnya.
Namun tetap cukup banyak yang menderita sakit dan meninggal. Sesuai niatnya
saat kembali berangkat dari Gunung Raung, beliau lantas memohon keselamatan
demi keselamat para pengikutnya, dengan cara menanam ‘Panca Datu’, lima macam
jenis logam di sekitar Tolangkir, seperti diuraikan pada awal cerita ini.
Entah berapa lama beliau disini,
akhirnya beliau kembali ke barat diikuti sebagian besar pengikutnya, sebagian
bermukim disana. Dan sampai ditempat yang dianggap tepat, beliau kembali
membuka hutan dan membangun pemukiman. Tempat pemukiman baru ini, disebut Desa Puakan. Puakan berasal dari suku
kata uak (kata kerja) dalam bahasa Bali; yang berarti buka atau membuka.
Ternyata Desa Puakan masih ada saat ini; terletak di sebelah utara Desa Taro,
Kecamatan Tegallalang, Gianyar. Karena kemakmuran yang dicapai masyarakat
Puakan, desa ini juga dikenal dengan nama Desa Sarwada. Sarwaada; sarwa-ada;
serba ada; apapun mudah dicari di Pemukiman para pengikut Maha Rsi Markandheya
ini.
Desa Taro juga merupakan desa tua yang
tidak bisa dilepaskan, karena temuan beliau. Tempat ini juga mejadi pilihan
beliau yang ditemukan karena ketajaman pikiran suci beliau. Pikiran adalah
Kayun dalam bahasa Bali; kayun è kayu è (sinonim)Taru è Taro.
Karena beliau memang seorang Yogiswara; dengan
mudah beliau menemukan tempat untuk ber-Yoga. Beliau memilih tempat di
pertemuan antara dua sungai (campuhan) untuk itu. Tempat suci itu kemudian disebut
Puncak Payogan atau Pura Gunung Lebah serta pemukiman disekitarnya sampai
sekarang disebut dengan Desa Campuhan, di Kecamatan Ubud; Gianyar.
Beliau juga membangun tempat pertapaan
di tepi sungai Oos, sebuah Vihara, pesraman Maha Rsi Markandheya. Dan disebelah
barat tempat ini beliau bersama pengikutnya juga berhasil membangun Pura untuk
mengingatkan beliau kepada pertapaan di Gunung Raung. Pura ini disebut dengan
Pura Murwa. Didalamnya ada Bale Agung yang (Balai-panjang)nya dibangun dari dua
‘kayu-utuh’ sangat panjang. Konon kabarnya dibawa dari Gunung Raung.
Selain beliau membangun banyak tempat
suci, beliau juga mengajarkan tata-cara bersembahyang dengan memanfaatkan tiga
unsur; yaitu: api, kembang dan air. Rupanya ajaran Waisnawa ini terus
berkembang. Dikabarkan pada Caka 858 (936 M) bulan (hindu) Palguna, pinanggal
3, paro-terang; saat Raja Ugrasena memerintah Bali; ada sekelompok Warga
Bhujangga Waisnawa menuju daerah Tamblingan; dimana mereka bermukim dan
membangun Pura dan pasraman. Dan ada juga diberitakan; kemudian sebagian dari
mereka pergi ke Bantiran, Pupuan, Tabanan dan Sukawati, Gianyar.
Menurut Buku pelajaran Agama Hindu,
untuk Siswa SMA dan SMK, menyatakan bahwa berdasarkan Markandheya Purana beliau
datang ke Bali sekitar Abad ke IV-V Masehi (Sudirga, Ida Bagus dkk; 2007; hal
25); dan menurut buku Bhujangga Dharma; beliau Maha Rsi Markandheya datang ke
Bali pada abad ke IX (Raka Santri dkk,
1989; hal 32).
Sedang mengenai tempat Suci atau Pura
yang dibagun bersama pengikut beliau adalah Pura Gunung Lebah atau Puncak
Payogan, Pesraman Goa Raksasa di tepi sungai Oos, Pur Murwa di Payangan dan
Pura Sabang Dahet di Desa Puakan(Ginarsa, Ketut 1979,10-11)
Pura lain yang juga dibanguna adalah
Pura lempuyang dan Pura Andakasa di Karangasem; Pura Sukawana di Bangli dan Pura
Batu Karu di Penebel, Tabanan (Sudirga Ida Bagus; hal 25)
MPU KUTURAN
Menurut Lontar Kerta Bhujangga; di Bali
pernah hidup seorang Rsi; pendeta penganut Waisnawa; Ida Rsi Wisnu Sunya Murti.
Setelah wafat beliau distanakan di Pura Jati, di dekat Danau Batur Kintamani.
Memiliki dua orang putra; bernama Mpu Kuturan dan Mpu Beradah. Tentu beliau
berdua pernah hidup di Bali dan kemudian rupanya hidup di Jawa.
Mpu Kuturan dan Mpu Beradah masih
dikenang masyarakat sampai kini, baik masyarakat Jawa dan terutama masyarakat
Bali. Keduanya merupakan tokoh penting didalam ceritera rakyat; Serat Calon
Arang. Tokoh utamanya adalah “Rangda ing Dirah”; Janda dari Dirah ini tercatat
dalam sejarah sebagai Ratu dari Selatan yang sulit di tundukkan Airlangga; saat
berupaya mengembalikan keutuhan kerajaan Medang yang terpecah. Mpu Kuturan
adalah suami Ratu tersebut dan memiliki putri bernama Ratna Mangali.
Usaha Raja untuk menundukkan Ratu ini
cukup alot dan panjang; berakibat cerainya Mpu Kuturan dengan istrinya. Karena
itulah Ratu ini dikenal dengan Rangda dari Dirah. Namun berkat melibatkan
adiknya Mpu Beradah suasana mulai mencair. Mpu Bahula anak dari Mpu Beradah
berhasil memperistri Ratna Mangali. Di Bali ceritra ini dimaknai sebagai Rwa
Bhineda; pertarungan antara kebaikan dengan keburukan yang tiada berakhir.
Didalam desertasi Antropolog Belanda
yang mengabdikan diri dan mengakhiri hidupnya di Bali; Dr. Rudolf Goris;
menyatakan bahwa Mpu Kuturan datang ke Bali pada pemerintahan Raja Erlangga
(1019-1042) di Jawa Timur, sedang di Bali pada saat itu memerintah adik
dari Erlangga; yang bergelar Paduka Haji Sri Dharmawangsa wardhana
Marakatapangkaja sthanottunggadewa (1022-1026). Ada juga
pendapat bahwa Mpu Kuturan ke Bali pada jaman pemerintahan Mahendradatta dan Udayana.
Muncul pertanyaan;“Kapan Mpu Kuturan
kembali ke Bali dan untuk apa dia datang kembali ke Bali?”
Waisnawa telah berkembang sejak
abad-ke 9 di Bali, seperti diungkap oleh Goris, dan terjadi sinkretheisme
antara Hindu (Waisnawa, Siwa) dengan Buddha. Hal ini memperkuat dugaan bahwa
apa yang terungkap dalam Prasasti Sukawana (Bangli) bertahun Isaka 804 (882 M);
dimana 3 pendeta didorong dan diberi ijin Raja untuk bekerja-sama membangun
pertapaan di Cintamani adalah Pendeta Waisnawa, Siwa dan Buddha.
Dengan demikian sebelum Dinasty
Warmadewa yang diawali Raja Sri Kesari Warma-dewa (914M) sampai Raja
terakhirnya Śri Suradhipa (1115-1119M); telah berkembang pesat Sekta Waisnawa
di kerajaan ini. Hal ini diperkuat lagi oleh berperanannya para Pendeta Sekta
Waisnawa sebagai Puruhita atau penasehat Raja, hampir sepanjang disnasti ini
Dharmodayana Warmadewa (989-1011) Raja
ke-7 dari Dinasty ini, yang memerintah Bali bersama istrinya yang bernama
Mahendradata. Ternyata Ratu yang bergelar Sri Mahen-dradata Gunapriya
Dharmapatni ini lebih berkuasa dari suaminya. Hal ini terbukti bahwa didalam
prasasti namanya selalu disebutkan lebih awal dari Raja Udayana. Ratu ini
adalah saudara dari Raja Dharmawangsa dari Kerajaan Medang di Jawa Timur. Dan
keduanya adalah putra dari Makutha-wangsa-wardhana, keturunan Mpu Sendok
(Wangsa Isana).
Sang Ratu wafat pada tahun 1007, saat
melahirkan putra ketiganya, Anak Wungsu. Dan pemerintahan dilanjutkan oleh
suaminya. Beliau kemudian disemayamkan di Bhurwan dekat Banyuweka; tepatnya di Pura
Durga Kutri Buruan Gianyar sebagai Dhurga Bhairawa. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam hidupnya beliau adalah penganut aliran Bhairawa. Karena
kekuasaan Ratu sangat menonjol maka sangat mungkin Aliran Bhairawa menjadi
Agama kerajaan yang mendesak Ajaran Waisnawa yang telah ada sebelumnya.
Prasasti Pucangan yang dikeluarkan
Airlangga tahun 1041; menyampaikan bahwa dirinya adalah Raja Medang di Jawa
Timur; anggota keluarga Dharmawangsa Teguh dan putra dari Ratu dan Raja Bali
diatas.
Pada usia 16 tahun; Erlangga diboyong ke
Jawa untuk dikawinkan dengan putri paman-nya; Raja Dharmawangsa. Dapat
dipastikan keberangkatannya dari Bali ke ibukota Medang (sekitar Jombang),
tidak sendirian. Disamping dijemput oleh utusan Medang, dia juga diantar oleh
prajurit pilihan Bali yang dipimpin langsung oleh Norotama; orang kepercayaan
ayahnya. Terbukti memang mereka adalah prajurit setia. Prasasti Pucangan,
menyatakan bahwa pada saat upacara perkawinan Airlangga; keraton Medang di
Wwatan diserbu prajurit Wurawari yang berasal dari Lwaram (sekarang desa
Ngloram, Cepu, Blora); kaki tangan musuh besar Dharmawangsa dari Sri Wijaya.
Berkat kesigapan mereka sepasang Penganten Baru itu dapat diselamatkan; namun
Maha Raja Dharmawangsa mati terbunuh dalam pralaya itu.
Setelah digembleng Narotama selama 3
tahun di tengah hutan, datang para pemuka Agama dan pemuka masyarakat
menjemputnya untuk dijadikan Raja. Akhirnya pada th 1019 Airlangga dikukuhkan
menjadi Raja Medang di Halu; bergelar Rake Halu Sri Lokeswara Dharmmawangsa
Airlangga Anantawikrama Utunggadewa.
Pada awal pemerintahan; tugas utama
Airlangga adalah mempersatukan kembali wilayah kerajaan mertuanya yang terpecah
belah. Musuhnya adalah Raja Wurawari, Raja Wanita dari Selatan, Raja Wijaya
dari Wengker dan Raja Bhismaprabawa. Erlangga berhasil mememerangi semua
musuhnya. Seperti diuraikan diatas Ratu dari selatan agak alot ditundukan.
Sedangkan raja Wurawari tunduk berkat perkawinan Airlangga dengan putri Sri
Wijaya yang beragama Buddha.
Dibawah raja bijaksana ini kerajaan Medang
menjadi maju. Narotama pelindung sekaligus pembimbingnya; diangkat menjadi
Rakryan Kanuruhan (Soekmono R, hal 56). Pada masa pemerintahannya tumbuh dan
berkembang Agama dan kesusastraan yang dijamin dan dilindungi oleh Kerajaan.
Agama dimaksud adalah Waisnawa, Siwa, Buddha dan Rsi (Maha-brahmana). Dan pada
jaman inilah juga muncul istilah Sang Trini atau Tri Sadaka (di Jawa); yang
bertugas memimpin upacara-upacara besar dan atau upacara Kerajaan. Berbagai
kesusatraan berkembang pada jaman ini; antara lain Arjuna Wiwaha yang ditulis
oleh Mpu Kanwa.
Pada akhir pemerintahannya Airlangga
ditasbihkan menjadi Rsi oleh Mpu Bharada dengan bhiseka Rsi Gentayu
atau Jatiningrat. Dan setelah meninggal digambarkan sebagai
Wisnu duduk diatas Garuda. Namun sebelumnya; dia sempat membagi kerajaannya
menjadi dua, yaitu Kediri dan Kahuripan. Hal ini terjadi karena putrinya (Chili
Suci) yang disiapkan untuk meganti dirinya malah memilih menjadi pertapa
sehingga kedua saudara tirinya serentak ingin menjadi raja. Alasan lain karena
niatnya untuk menempatkan salah seorang putranya untuk memerintah di Bali
ditolak secara halus oleh Mpu Kuturan karena Anak Wungsu telah siap menjadi
Raja
Disisi lain Prasasti Sembiran III,
bertahun saka 938 (1016) yang di keluarkan Ratu Sri Ajnadewi; menunjukkan bahwa
Udayana digantikan oleh seorang Ratu. Namun tidak diketahui asal-usulnya.
Ada lagi Prasasti Besakih, Batu Madeg yang sesunguhnya berangka tahun
1393 Saka tetapi di dalamnya disebut-sebut‘prasasti lebih tua’ yang bercandra
sangkala nawasanga-apit-lawang (929 Saka); Prasasti yang terbit pada
masa pemerintahan Mahendradatta. Penduduk setempat menyebut prasasti itu
sebagai “Mpu Bradah”, tokoh dalam cerita Calon Arang (Goris, 1965 : 23
; cf. Poerbatjaraka, 1926 : 115-145). Sekarang timbul pertanyaan, mengapa
prasasti itu disebut Mpu Bradah? Goris cenderung berpendapat bahwa
Gunapriyadharmapatni mangkat ketika melahirkan Anak Wungsu sehingga kedatangan
Mpu Baradah ke Bali pada tahun Saka 929 (1007) betul-betul sangat penting
(Goris, 1957 : 20)
Dari uraian diatas dapat ditarik
benang merah, sebagai berikut:
- Mpu Kuturan
kembali ke Bali pada jaman Airlangga (1019-1042). Airlanga baru berangkat
ke Jawa tahun 1016; sedang Ayah dan Ibunya memerintah tahun 989-1011 dan
Anak Wungsu memerintah 1049-1077. Jadi yang memerintah di Bali saat Mpu
Kuturan datang adalah Raja Marakata (1022-1026) dan bukan Raja Udayana
atau Anak Wungsu. Perhatikan tahunnya
- Setelah
wafatnya Udayana (1011) terjadi kesenjangan di Bali. Airlangga pada saat
itu berumur 11 tahun; sedang Anakwungsu baru berumur 4 tahun. Mari kita
cermati:
- Sejak Abad
ke-9 di Bali telah berkembang Ajaran Waisnawa; dan mengakar pada Dinasty
Warmadewa. Dibawa oleh Airlangga ke Medang; makin meresap saat digembleng
oleh Narotama selama 3 tahun dalam pengungsian, dan akhirnya dia menjadi
seorang Rsi Waisnawa setelah mundur dari pemerintahanya.
- Disisi lain
Ibunya membawa ajaran Bhairawa dari Medang ke Bali. Perhatikan di Jawa ada
Rangda ring Dirah. Dan Mahendradatta setelah meninggal distanakan sebagai
Durga Bhairawa.
- Menurut R.
Goris pada jaman Ratu ini telah berkembang 9 sekta Agama; Waisnawa, Rsi,
Siwa Sidanta, Pasupata, Bhairawa, Brahmana, Sora(Surya), Ganapatya, Bodha
(Sogata).
- Para akhli
sejarah sepakat bahwa Mpu Kuturan berhasil memfusikan ke-9 aliran ini
menjadi 3 saja; yaitu Budha, Waisnawa dan Siwa dengan Tri Murti sebagai
konsepnya. Sehingga Masyarakat Bali sampai saat ini mengenal “Kahyangan
Tiga” di tiap Desa dan pelinggih “Rong Telu” sebagai stana
Brahma-Wisnu-Siwa, di tiap Rumah Tangga.
- Airlangga
lahir th 1000 dan Anakwungsu th 1007, berarti Marakata lahir antara th
1002 dengan th 1006 M atau berusia 5 atau 9 tahun pada tahun 1011.
- Dharmawangsa
sebagai Raja atasan tentu telah menetahui keadaan Bali dari laporan
kunjungan Mpu Beradah saat Mahendradatta wafat. Menyusul berita wafatnya
Udayana (1011), membuatnya berpikir keras demi utuhnya Pengaruh Medang
terhadap Bali.
- Demi utuh
pengaruhnya itulah rupanya Dharmawangsa membuat program matang tentang
Bali; dengan mengangkat salah seorang anaknya (kerabatnya) Sri Adnyadewi
menjadi Ratu Bali tahun 1016; sekaligus memboyong Airlangga untuk
dijadikan menantu
- Disisi lain
para tokoh kerajaan dan rakyat penganut Waisnawa yang merasa terdesak
(terpinggirkan) pada masa pemerintahan Mahendradatta; bangkit sejak
Mahendradatta wafat (1007). Dengan diangkatnya Ratu baru dari Jawa ini
mereka menjadi tambah gigih.
- Terjadilah
kekacauan akibat Ratu baru yang diperparah dengan persaingan antara agama
lama (Waisnawa) dengan yang baru (Bhairawa). Keadaan ini diperkuat
oleh Prasasti Sembiran III; dimana dinyatakan bahwa:” Desa Julah diserang
lagi oleh penjahat. Banyak penduduk mati, ditawan musuh, atau
mengungsi ke desa lain. Penduduk semula sebanyak 300 KK, tersisa hanya 50
KK. Oleh karena itu, sang Ratu memberi keringanan kepada penduduk Desa
Julah dalam hal kerja gotong royong dan pajak (Goris, 1954a: 95).”
- Inilah
rupanya alasan Airlangga mengirim Mpu Kuturan yang telah berpengalaman di
Medang untuk mengatasi kekacauan Kerajaan Ayahnya di Bali (1022-1026).
- Seolah
terjadi kekosongan selama 23 tyahun antara 1026-1049; maka raja yang
memerintah Bali pada saat itu adalah raja lemah atau berganti-ganti
(terjadi kekacauan) sehingga tidak sempat membuat catatan-catatan penting
dalam bentuk Prasasti
- Dapat
diduga proses pematangan kosep Tri Murti Mpu Kuturan itu terus berjalan
sampai akhir pemerintahan Airlangga dan diangkatnya Anak Wungsu menjadi
raja. Raja Anak Wungsu (1049-1077) tercatat sebagai Raja yang sukses.
IDA RSI MUSTIKA
Setelah Raja Bali Sri Asta Sura Ratna
Bumi Banten yang (berbeda) berseberangan dengan (Majapahit) hulunya, dengan
susah payah Bali ditaklukan oleh Maha Patih Gajah Mada pada tahun 1343M; Bali
tetap dalam keadaan kacau; karena terjadi banyak pemberontakan, tidak terima dipimpin
Majapahit. Akhirnya sebagian tokoh Bali yang tidak ingin tetap kacau mengirim
utusan ke Majapahit; agar Bali dipimpin langsung oleh pejabat keturnan
Raja-raja Bali
Baru setelah 9 tahun kemudian, pada
tahun Caka 1274 (1352M) dinobatkan Raja Sri Aji Maharaja Kepakisan putra
seorang Brahmana Waisnawa dari Kediri (Keturunan Erlangga). Kedatangan beliau
ke Bali didampingi Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Mustika, yang juga dikenal dengan Rsi
Semaranata; sebagai Puruhita atau Pendeta Penasehat Raja. Bersama
beliau menurut Babad Dalem Tarukan,
ikut juga dua orang penganut Waisnawa lainnya, yaitu Danhhyang Subali dan
Danghyang Jaya Rembu serta para Arya lain, menyusul para Arya yang telah ada
sejak 1343 M. Dan Rombongan terakhir mendarat di Pantai Rangkung, yang sekarang
dikenal dengan pantai Lebih. (Sudira Pering; 2005, hal 3-4). Raja Sri Kresna
Kepakisan dilantik menjadi raja dan berkedudukan di area bekas perkemahan pasukan
yang dipimpin Mahapatih Gajah Mada saat menyerang kerajaan Bedahulu;
Samprangan.
Dan kerajaan Samprangan didukung dan diperkuat
oleh para Arya yang disamping ada di Samprangan; ada di 8 (delapan) tempat
strategis di seluruh Bali, tepatnya di perkemahan laskar-laskar Majapahit
sebelumnya. Para pemimpin itu adalah Arya Kanuruhan, Arya Wang Bang, Arya
Kenceng, Arya Dalancang, Arya Belog, Arya Manguri, Arya Kuta Waringin, Arya
Gajah Para (di Toya Anyar/ Tianyar, Karangasem).
Suatu saat Sri Kresna Kepakisan dengan
Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Mustika menuju Silangungang; yang kemudian membangun
tempat Suci yang disebut dengan Batu Nguwus; dengan pemandangannya yang sangat
indah Disebutkan juga di Seseh beliau membangun tempat pemujaan Sang Hyang
Anantadi dan Sang Hyang Samudra; menunjukan beliau sebagai pasangan yang
serasi. Dari seni pasangan serasi ini ke ujung selatan Bali; Pecatu. Dan dalam
perjalanan kembali ke Puri Samprangan beliau melewati Pantai Lebih.
Digambarkan pula Raja ini membangun
masyarakatnya dengan menata pemukiman dan pertanian; persawahan dan pegagan
(kebun). Demi kesuksesan pekerjaan besar ini Ida Rsi Mustika mendapat tugas
melakukan upacara Boganan lan Angkus, dengan memanfaatkan Panca Bajra.
Sri Kresna kepakisan tercatat memerintah
1352-1371M, selanjutnya digantikan oleh putra beliau pada tahun 1372; dengan
Bhiseka Agra Samprangan. Raja ini dikenal dengan raja pesolek sehingga tidak
disenangi oleh rakyat dan pejabat kerajaan; karena tidak memperhatikan jalannya
pemerintahan. Akhirnya Patih Samprangan yang berkedudukan di Gelgel menobatkan
adik beliau Ida Dalem Ketut Ngelesir menjadi raja dengan gelar Sri Asmara
Kepakisan. Sehingga Bali memiliki pemerintahan kembar; satu di Samprangan dan
satunya lagi di Gelgel. Dan akhirnya Agra Samprangan berkenan mengundurkan
diri; sehingga secara resmi Sri Asmara Kepakisan memerintah Bali (1380-1460);
dan pusat pemerintahan pindah ke Gelgel.
Pada tahun 1398, saat pemerintahan putri
Hayam Wuruk; Kesumawardhani (1389-1426); beliau memerintahkan Sang
Wijaya Rajasa Raja dari Wengker untuk mendampingi Raja Bali. Pemerintahan Sri
Asmara Kepakisan Yang didampingi Puruhita Waisnawa, ternyata maju dan berhasil
merebut kembali hati rakyat Bali, dengan membangun patung untuk menghormati
Raja Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten di Tegeh Koripan, Gunung Penulisan pada 4
April 1430 (sesuai catatan dibelakang patung.); dan membangun Pura Dasar Gelgel
yang dihormati seluruh lapisan masyarkat (sekta yang ada).
Diceritakan Ida Rsi Mustika meninggalkan
hutan Jenggala menuju ke timur dan sampai di suatu tempat yang kemudian
dijadikan tempat bermukim. Tempat itu kemudian dikenal masyarakat dengan se-ungguan
(tempat suci) di (Sela-pegat) Lepang. Setelah tua beliau pergi ke Besakih mendirikan
Pesraman; dan akhirnya lebar dilingkungan Suci tersebut. Kemudian oleh
keturunan beliau, Maha Warga Bhujangga Waisnwa, beliau distanakan di Pedharman
Bhujangga Waisnawa di Pura Besakih, Rendang; Karangasem. Pura Pedharman ini
disembah oleh semua keturunan beliau, Maha Warga Bhujangga Waisnawa
Putra beliau Ida Bagus Angker sempat
hidup di Lepang, kemudian pergi ke daerah pegunungan di Tabanan. Pesraman
beliau disebut Gunung Sari (Giri Kesuma) dan pemukiman tempat melayani para
pengikut beliau dikenal dengan Jati Luwih.
Ketaatan beliau menjalani tapa brata sangat berhasil dan setelah beliau
melaksanakan Diksa Viddhi beliau ber-bhiseka Ida Bhagawan Rsi Canggu.
Pada tempat itu juga Ida Bhagawan Rsi
Canggu bersama Arya WangBang mendirikan tempat Suci yang diberi nama Pura Petali (petalian=paiketan,
persatuan); disungsung Masya-rakat dan Pemerintah Tabanan. Dari pesraman Giri
Kesuma beliau pergi ke dekat pesisir Kediri Tabanan, dan mendirikan Pra
Kalipisan di Desa Nyitdah. Disini beliau hidup bersama keluarga; dan memiliki 4
orang; 3 orang putra dan seorang putrid.
Seorang dari putra beliau Ida Bhujangga
Guru kemudian menjadi Puruhita di kerajaan Gelgel; dan mengambil putri Dalem
Waturenggong menjadi istri yang kemudian hidup menetap di Pesraman Gunungsari
Jatiluwih.
Belakangan Pesraman ini menjadi Pura
Luhur Bhujangga Waisnawa Gunung Sari. Dan disana diyakini berstana 13 orang Ida
Rsi Bhujangga Waisnawa; seorang dari beliau adalah Ida rsi Bhujangga Waisnawa
Istri. Tentu termasuk diantara beliau adalah Ida Bhagawan Rsi Canggu dan Ida
Bhujanga Guru (Ida Rsi BW Guru)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar