Senin, 04 Juni 2018

SEJARAH MAHA RSI MARKANDHEYA


Nama Maha Rsi Markandheya sudah sangat akrab dengan masyarakat Bali. Beliau dikenal sebagai seorang Maha Rsi yang pertama datang ke Bali demi keselamatan umat manusia. Menanam Panca Datu di sebuah tempat di pinggang Gunung Agung, dimana sekarang diatasnya telah dibangun Pura Basuki; cikal bakal pembangunan Pura terbesar di Bali. Membuka hutan demi pertanian dan demi kesejahteraan para pengikutnya.
Bila dicermati lebih dalam; Beliau adalah cucu buyut atau kompyang dari seorang Rsi yang bernama Sang Hyang Meru; kakek atau Kakyang beliau bernama Sang Niata; ayah beliau Sang Markanda dan memiliki seorang ibu yang sangat cantik bernama Dewi Manaswini.
Sejatinya beliau bagian dari sebuah keluarga besar. Saudara tua dari kakyang beliau bernama Sang Ayati, yang mempunyai putra bernama Sang Prana. Maha Rsi Markandheya kawin dengan Dewi Dumara; dan mempunyai seorang putra yang dikenal dengan nama Hyang  Rsi Dewa Sirah. Kemudian Hyang Rsi Dewa Sirah kawin dengan Dewi Wipari; yang juga menurunkan putra-putri. Demikian menurut Buana Tattwa Maha Rsi Markandheya berbahasa Kawi yang disusun oleh Ketut Ginarsa seorang asisten dari DR. R. Goris akhli arkeologi Belanda yang mengabdikan seluruh hidupnya sampai mati di Bali.
Beliau; Maha Rsi Markandheya adalah leluhur kami yang telah moksah, menyatu dengan Ida Sang Hyang Widhi, yang kini selalu dikenang, dipuja dan dihormati oleh keturunan beliau; Maha Warga Bhujangga Waisnawa.

Berawal dari tempat pertapaan beliau di sebuah gunung bernama Wukir Damalung di pegunungan Di Hyang (Dieng), Jawa Tengah. Belau adalah seorang Yogi Besar, sehingga disebut Sang Yogiswara. Suatu saat; karena memang kehendak Hyang Widhi beliau melakukan perjalanan kearah timur dari pertapaan beliau, dan tiba di Gunung Raung di pegunungan Ijen, Jawa Timur. Disana ternyata beliau membangun Asrama dan bangunan suci tempat memuja Ida Hyang Widhi. Rupanya beliau diterima oleh masyarakat disana; sehingga memiliki banyak pengikut. Namun tidak diketahui dengan jelas berapa lama beliau lama menetap disana.

Suatu saat beliau akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke-arah Timur ke Pulau di seberang lautan. Perjalan saat itu menjadi perjalanan sangat bersejarah karena diikuti oleh sekitar 800 orang Jawa Aga (Jawa Pegunungan), pengikut setianya. Semacam Bedol Desa.
Perjalanan sampai di daerah pegunungan sisi timur Bali; dimana beliau menemukan bangunan suci, Batu berundag. Tempat ini diberi nama To Langkir; artinya Orang Suci, roh suci atau yang disucikan. Tempat ini akhirnya dipelihara-dipugar oleh Maha Rsi Markandheya. Dan ditempat ini beliau mulai menetap bersama para pengikut beliau, dan mulai membuka hutan dengan maksud untuk tempat bercocok tanam.
Perjalanan beliau dari Gunung Raung, Jawa Timur sampai di bagian timur Pulau Bali ini, adalah perjalanan panjang yang memakan waktu berbulan-bulan. Dan ternyata banyak pengikut beliau yang menderita sakit dan bahkan mati akibat menemukan berbagai rintangan ditengah hutan belantara Bali pada saat itu. Karena itu, akhirnya memutuskan untuk kembali ke Gunung Raung. Entah berapa lama beliau berada disana akhirnya kembali ke Bali setelah mendapat petunjuk niskala dalam tapa-brata; dengan membawa para pengikut beliau. Sejarah mencatat pengikut beliau saat itu tidak sebanyak pengkut sebelumnya, hanya sekitar 400 orang saja.
Perjalan baru ini bukan tidak mendapat halangan, tapi karena sudah berpengalaman korban tidaklah sebanyak sebelumnya. Namun tetap cukup banyak yang menderita sakit dan meninggal. Sesuai niatnya saat kembali berangkat dari Gunung Raung, beliau lantas memohon keselamatan demi keselamat para pengikutnya, dengan cara menanam ‘Panca Datu’, lima macam jenis logam di sekitar Tolangkir, seperti diuraikan pada awal cerita ini.

Entah berapa lama beliau disini, akhirnya beliau kembali ke barat diikuti sebagian besar pengikutnya, sebagian bermukim disana. Dan sampai ditempat yang dianggap tepat, beliau kembali membuka hutan dan membangun pemukiman. Tempat pemukiman baru ini, disebut Desa Puakan. Puakan berasal dari suku kata uak (kata kerja) dalam bahasa Bali; yang berarti buka atau membuka. Ternyata Desa Puakan masih ada saat ini; terletak di sebelah utara Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Gianyar. Karena kemakmuran yang dicapai masyarakat Puakan, desa ini juga dikenal dengan nama Desa Sarwada. Sarwaada; sarwa-ada; serba ada; apapun mudah dicari di Pemukiman para pengikut Maha Rsi Markandheya ini.
Desa Taro juga merupakan desa tua yang tidak bisa dilepaskan, karena temuan beliau. Tempat ini juga mejadi pilihan beliau yang ditemukan karena ketajaman pikiran suci beliau. Pikiran adalah Kayun dalam bahasa Bali; kayun è kayu è (sinonim)Taru è Taro.
Karena beliau memang seorang Yogiswara; dengan mudah beliau menemukan tempat untuk ber-Yoga. Beliau memilih tempat di pertemuan antara dua sungai (campuhan) untuk itu. Tempat suci itu kemudian disebut Puncak Payogan atau Pura Gunung Lebah serta pemukiman disekitarnya sampai sekarang disebut dengan Desa Campuhan, di Kecamatan Ubud; Gianyar.
Beliau juga membangun tempat pertapaan di tepi sungai Oos, sebuah Vihara, pesraman Maha Rsi Markandheya. Dan disebelah barat tempat ini beliau bersama pengikutnya juga berhasil membangun Pura untuk mengingatkan beliau kepada pertapaan di Gunung Raung. Pura ini disebut dengan Pura Murwa. Didalamnya ada Bale Agung yang (Balai-panjang)nya dibangun dari dua ‘kayu-utuh’ sangat panjang. Konon kabarnya dibawa dari Gunung Raung.
Selain beliau membangun banyak tempat suci, beliau juga mengajarkan tata-cara bersembahyang dengan memanfaatkan tiga unsur; yaitu: api, kembang dan air. Rupanya ajaran Waisnawa ini terus berkembang. Dikabarkan pada Caka 858 (936 M) bulan (hindu) Palguna, pinanggal 3, paro-terang; saat Raja Ugrasena memerintah Bali; ada sekelompok Warga Bhujangga Waisnawa menuju daerah Tamblingan; dimana mereka bermukim dan membangun Pura dan pasraman. Dan ada juga diberitakan; kemudian sebagian dari mereka pergi ke Bantiran, Pupuan, Tabanan dan Sukawati, Gianyar.
Menurut Buku pelajaran Agama Hindu, untuk Siswa SMA dan SMK, menyatakan bahwa berdasarkan Markandheya Purana beliau datang ke Bali sekitar Abad ke IV-V Masehi (Sudirga, Ida Bagus dkk; 2007; hal 25); dan menurut buku Bhujangga Dharma; beliau Maha Rsi Markandheya datang ke Bali pada abad ke IX (Raka Santri  dkk, 1989; hal 32).
Sedang mengenai tempat Suci atau Pura yang dibagun bersama pengikut beliau adalah Pura Gunung Lebah atau Puncak Payogan, Pesraman Goa Raksasa di tepi sungai Oos, Pur Murwa di Payangan dan Pura Sabang Dahet di Desa Puakan(Ginarsa, Ketut 1979,10-11)  
Pura lain yang juga dibanguna adalah Pura lempuyang dan Pura Andakasa di Karangasem; Pura Sukawana di Bangli dan Pura Batu Karu di Penebel, Tabanan (Sudirga Ida Bagus; hal 25)



MPU KUTURAN
Menurut Lontar Kerta Bhujangga; di Bali pernah hidup seorang Rsi; pendeta penganut Waisnawa; Ida Rsi Wisnu Sunya Murti. Setelah wafat beliau distanakan di Pura Jati, di dekat Danau Batur Kintamani. Memiliki dua orang putra; bernama Mpu Kuturan dan Mpu Beradah. Tentu beliau berdua pernah hidup di Bali dan kemudian rupanya hidup di Jawa.
Mpu Kuturan dan Mpu Beradah masih dikenang masyarakat sampai kini, baik masyarakat Jawa dan terutama masyarakat Bali. Keduanya merupakan tokoh penting didalam ceritera rakyat; Serat Calon Arang. Tokoh utamanya adalah “Rangda ing Dirah”; Janda dari Dirah ini tercatat dalam sejarah sebagai Ratu dari Selatan yang sulit di tundukkan Airlangga; saat berupaya mengembalikan keutuhan kerajaan Medang yang terpecah. Mpu Kuturan adalah suami Ratu tersebut dan memiliki putri bernama Ratna Mangali.
Usaha Raja untuk menundukkan Ratu ini cukup alot dan panjang; berakibat cerainya Mpu Kuturan dengan istrinya. Karena itulah Ratu ini dikenal dengan Rangda dari Dirah. Namun berkat melibatkan adiknya Mpu Beradah suasana mulai mencair. Mpu Bahula anak dari Mpu Beradah berhasil memperistri Ratna Mangali. Di Bali ceritra ini dimaknai sebagai Rwa Bhineda; pertarungan antara kebaikan dengan keburukan yang tiada berakhir.
Didalam desertasi Antropolog Belanda yang mengabdikan  diri dan mengakhiri hidupnya di Bali; Dr. Rudolf Goris; menyatakan bahwa Mpu Kuturan datang ke Bali pada pemerintahan Raja Erlangga (1019-1042)  di Jawa Timur, sedang di Bali pada saat itu memerintah adik dari Erlangga; yang bergelar Paduka Haji Sri Dharmawangsa wardhana Marakatapangkaja sthanottunggadewa (1022-1026).  Ada juga pendapat bahwa Mpu Kuturan ke Bali pada jaman pemerintahan Mahendradatta dan Udayana.
Muncul pertanyaan;“Kapan Mpu Kuturan kembali ke Bali dan untuk apa dia datang kembali ke Bali?”
Waisnawa telah berkembang sejak  abad-ke 9 di Bali, seperti diungkap oleh Goris, dan terjadi sinkretheisme antara Hindu (Waisnawa, Siwa) dengan Buddha. Hal ini memperkuat dugaan bahwa apa yang terungkap dalam Prasasti Sukawana (Bangli) bertahun Isaka 804 (882 M); dimana 3 pendeta didorong dan diberi ijin Raja untuk bekerja-sama membangun pertapaan di Cintamani adalah Pendeta Waisnawa, Siwa dan Buddha.
Dengan demikian sebelum Dinasty Warmadewa yang diawali Raja Sri Kesari Warma-dewa (914M) sampai Raja terakhirnya Śri Suradhipa (1115-1119M); telah berkembang pesat Sekta Waisnawa di kerajaan ini. Hal ini diperkuat lagi oleh berperanannya para Pendeta Sekta Waisnawa sebagai Puruhita atau penasehat Raja, hampir sepanjang disnasti ini
Dharmodayana Warmadewa (989-1011) Raja ke-7 dari Dinasty ini, yang memerintah Bali bersama istrinya yang bernama Mahendradata. Ternyata Ratu yang bergelar Sri Mahen-dradata Gunapriya Dharmapatni ini lebih berkuasa dari suaminya. Hal ini terbukti bahwa didalam prasasti namanya selalu disebutkan lebih awal dari Raja Udayana. Ratu ini adalah saudara dari Raja Dharmawangsa dari Kerajaan Medang di Jawa Timur. Dan keduanya adalah putra dari Makutha-wangsa-wardhana, keturunan Mpu Sendok (Wangsa Isana).
Sang Ratu wafat pada tahun 1007, saat melahirkan putra ketiganya, Anak Wungsu. Dan pemerintahan dilanjutkan oleh suaminya. Beliau kemudian disemayamkan di Bhurwan dekat Banyuweka; tepatnya di Pura Durga Kutri Buruan Gianyar sebagai Dhurga Bhairawa. Hal ini menunjukkan bahwa dalam hidupnya beliau adalah penganut aliran Bhairawa. Karena kekuasaan Ratu sangat menonjol maka sangat mungkin Aliran Bhairawa menjadi Agama kerajaan yang mendesak Ajaran Waisnawa yang telah ada sebelumnya.
Prasasti Pucangan yang dikeluarkan Airlangga tahun 1041; menyampaikan bahwa dirinya adalah Raja Medang di Jawa Timur; anggota keluarga Dharmawangsa Teguh dan putra dari Ratu dan Raja Bali diatas.
Pada usia 16 tahun; Erlangga diboyong ke Jawa untuk dikawinkan dengan putri paman-nya; Raja Dharmawangsa. Dapat dipastikan keberangkatannya dari Bali ke ibukota Medang (sekitar Jombang), tidak sendirian. Disamping dijemput oleh utusan Medang, dia juga diantar oleh prajurit pilihan Bali yang dipimpin langsung oleh Norotama; orang kepercayaan ayahnya. Terbukti memang mereka adalah prajurit setia. Prasasti Pucangan, menyatakan bahwa pada saat upacara perkawinan Airlangga; keraton Medang di Wwatan diserbu prajurit Wurawari yang berasal dari Lwaram (sekarang desa Ngloram, Cepu, Blora); kaki tangan musuh besar Dharmawangsa dari Sri Wijaya. Berkat kesigapan mereka sepasang Penganten Baru itu dapat diselamatkan; namun Maha Raja Dharmawangsa mati terbunuh dalam pralaya itu.
Setelah digembleng Narotama selama 3 tahun di tengah hutan, datang para pemuka Agama dan pemuka masyarakat menjemputnya untuk dijadikan Raja. Akhirnya pada th 1019 Airlangga dikukuhkan menjadi Raja Medang di Halu; bergelar Rake Halu Sri Lokeswara Dharmmawangsa Airlangga Anantawikrama Utunggadewa.
Pada awal pemerintahan; tugas utama Airlangga adalah mempersatukan kembali wilayah kerajaan mertuanya yang terpecah belah. Musuhnya adalah Raja Wurawari, Raja Wanita dari Selatan, Raja Wijaya dari Wengker dan Raja Bhismaprabawa. Erlangga berhasil mememerangi semua musuhnya. Seperti diuraikan diatas Ratu dari selatan agak alot ditundukan. Sedangkan raja Wurawari tunduk berkat perkawinan Airlangga dengan putri Sri Wijaya yang beragama Buddha.
Dibawah raja bijaksana ini kerajaan Medang menjadi maju. Narotama pelindung sekaligus pembimbingnya; diangkat menjadi Rakryan Kanuruhan (Soekmono R, hal 56). Pada masa pemerintahannya tumbuh dan berkembang Agama dan kesusastraan yang dijamin dan dilindungi oleh Kerajaan. Agama dimaksud adalah Waisnawa, Siwa, Buddha dan Rsi (Maha-brahmana). Dan pada jaman inilah juga muncul istilah Sang Trini atau Tri Sadaka (di Jawa); yang bertugas memimpin upacara-upacara besar dan atau upacara Kerajaan. Berbagai kesusatraan berkembang pada jaman ini; antara lain Arjuna Wiwaha yang ditulis oleh Mpu Kanwa.
Pada akhir pemerintahannya Airlangga ditasbihkan menjadi Rsi oleh Mpu Bharada dengan bhiseka Rsi Gentayu atau Jatiningrat. Dan setelah meninggal digambarkan sebagai Wisnu duduk diatas Garuda. Namun sebelumnya; dia sempat membagi kerajaannya menjadi dua, yaitu Kediri dan Kahuripan. Hal ini terjadi karena putrinya (Chili Suci) yang disiapkan untuk meganti dirinya malah memilih menjadi pertapa sehingga kedua saudara tirinya serentak ingin menjadi raja. Alasan lain karena niatnya untuk menempatkan salah seorang putranya untuk memerintah di Bali ditolak secara halus oleh Mpu Kuturan karena Anak Wungsu telah siap menjadi Raja
Disisi lain Prasasti Sembiran III, bertahun saka 938 (1016) yang di keluarkan Ratu Sri Ajnadewi; menunjukkan bahwa Udayana digantikan oleh seorang Ratu. Namun tidak diketahui asal-usulnya.  Ada lagi Prasasti Besakih, Batu Madeg yang sesunguhnya berangka tahun 1393 Saka tetapi di dalamnya disebut-sebut‘prasasti lebih tua’ yang bercandra sangkala nawasanga-apit-lawang (929 Saka); Prasasti yang terbit pada masa pemerintahan Mahendradatta. Penduduk setempat menyebut prasasti itu sebagai “Mpu Bradah”, tokoh dalam cerita Calon Arang (Goris, 1965 : 23 ; cf. Poerbatjaraka, 1926 : 115-145). Sekarang timbul pertanyaan, mengapa prasasti itu disebut Mpu Bradah? Goris cenderung berpendapat bahwa Gunapriyadharmapatni mangkat ketika melahirkan Anak Wungsu sehingga kedatangan Mpu Baradah ke Bali pada tahun Saka 929 (1007) betul-betul sangat penting (Goris, 1957 : 20)

Dari uraian diatas dapat ditarik benang merah, sebagai berikut:
  1. Mpu Kuturan kembali ke Bali pada jaman Airlangga (1019-1042). Airlanga baru berangkat ke Jawa tahun 1016; sedang Ayah dan Ibunya memerintah tahun 989-1011 dan Anak Wungsu memerintah 1049-1077. Jadi yang memerintah di Bali saat Mpu Kuturan datang adalah Raja Marakata (1022-1026) dan bukan Raja Udayana atau Anak Wungsu. Perhatikan tahunnya
  2. Setelah wafatnya Udayana (1011) terjadi kesenjangan di Bali. Airlangga pada saat itu berumur 11 tahun; sedang Anakwungsu baru berumur 4 tahun. Mari kita cermati:
  • Sejak Abad ke-9 di Bali telah berkembang Ajaran Waisnawa; dan mengakar pada Dinasty Warmadewa. Dibawa oleh Airlangga ke Medang; makin meresap saat digembleng oleh Narotama selama 3 tahun dalam pengungsian, dan akhirnya dia menjadi seorang Rsi Waisnawa setelah mundur dari pemerintahanya.
  • Disisi lain Ibunya membawa ajaran Bhairawa dari Medang ke Bali. Perhatikan di Jawa ada Rangda ring Dirah. Dan Mahendradatta setelah meninggal distanakan sebagai Durga Bhairawa.
  • Menurut R. Goris pada jaman Ratu ini telah berkembang 9 sekta Agama; Waisnawa, Rsi, Siwa Sidanta, Pasupata, Bhairawa, Brahmana, Sora(Surya), Ganapatya, Bodha (Sogata).
  • Para akhli sejarah sepakat bahwa Mpu Kuturan berhasil memfusikan ke-9 aliran ini menjadi 3 saja; yaitu Budha, Waisnawa dan Siwa dengan Tri Murti sebagai konsepnya. Sehingga Masyarakat Bali sampai saat ini mengenal “Kahyangan Tiga” di tiap Desa dan pelinggih “Rong Telu” sebagai stana Brahma-Wisnu-Siwa, di tiap Rumah Tangga.
  • Airlangga lahir th 1000 dan Anakwungsu th 1007, berarti Marakata lahir antara th 1002 dengan th 1006 M atau berusia 5 atau 9 tahun pada tahun 1011.  
  • Dharmawangsa sebagai Raja atasan tentu telah menetahui keadaan Bali dari laporan kunjungan Mpu Beradah saat Mahendradatta wafat. Menyusul berita wafatnya Udayana (1011), membuatnya berpikir keras demi utuhnya Pengaruh Medang terhadap Bali.
  • Demi utuh pengaruhnya itulah rupanya Dharmawangsa membuat program matang tentang Bali; dengan mengangkat salah seorang anaknya (kerabatnya) Sri Adnyadewi menjadi Ratu Bali tahun 1016; sekaligus memboyong Airlangga untuk dijadikan menantu
  • Disisi lain para tokoh kerajaan dan rakyat penganut Waisnawa yang merasa terdesak (terpinggirkan) pada masa pemerintahan Mahendradatta; bangkit sejak Mahendradatta wafat (1007). Dengan diangkatnya Ratu baru dari Jawa ini mereka menjadi tambah gigih.
  • Terjadilah kekacauan akibat Ratu baru yang diperparah dengan persaingan antara agama lama (Waisnawa) dengan yang baru (Bhairawa).  Keadaan ini diperkuat oleh Prasasti Sembiran III; dimana dinyatakan bahwa:” Desa Julah diserang lagi oleh penjahat. Banyak penduduk mati, ditawan musuh, atau mengungsi ke desa lain. Penduduk semula sebanyak 300 KK, tersisa hanya 50 KK. Oleh karena itu, sang Ratu memberi keringanan kepada penduduk Desa Julah dalam hal kerja gotong royong dan pajak (Goris, 1954a: 95).”
  • Inilah rupanya alasan Airlangga mengirim Mpu Kuturan yang telah berpengalaman di Medang untuk mengatasi kekacauan Kerajaan Ayahnya di Bali (1022-1026).
  • Seolah terjadi kekosongan selama 23 tyahun antara 1026-1049; maka raja yang memerintah Bali pada saat itu adalah raja lemah atau berganti-ganti (terjadi kekacauan) sehingga tidak sempat membuat catatan-catatan penting dalam bentuk Prasasti
  • Dapat diduga proses pematangan kosep Tri Murti Mpu Kuturan itu terus berjalan sampai akhir pemerintahan Airlangga dan diangkatnya Anak Wungsu menjadi raja. Raja Anak Wungsu (1049-1077) tercatat sebagai Raja yang sukses.
IDA RSI MUSTIKA
Setelah Raja Bali Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten yang (berbeda) berseberangan dengan (Majapahit) hulunya, dengan susah payah Bali ditaklukan oleh Maha Patih Gajah Mada pada tahun 1343M; Bali tetap dalam keadaan kacau; karena terjadi banyak pemberontakan, tidak terima dipimpin Majapahit. Akhirnya sebagian tokoh Bali yang tidak ingin tetap kacau mengirim utusan ke Majapahit; agar Bali dipimpin langsung oleh pejabat keturnan Raja-raja Bali
Baru setelah 9 tahun kemudian, pada tahun Caka 1274 (1352M) dinobatkan Raja Sri Aji Maharaja Kepakisan putra seorang Brahmana Waisnawa dari Kediri (Keturunan Erlangga). Kedatangan beliau ke Bali didampingi Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Mustika, yang juga dikenal dengan Rsi Semaranata; sebagai Puruhita atau Pendeta Penasehat Raja. Bersama beliau menurut Babad Dalem Tarukan, ikut juga dua orang penganut Waisnawa lainnya, yaitu Danhhyang Subali dan Danghyang Jaya Rembu serta para Arya lain, menyusul para Arya yang telah ada sejak 1343 M. Dan Rombongan terakhir mendarat di Pantai Rangkung, yang sekarang dikenal dengan pantai Lebih. (Sudira Pering; 2005, hal 3-4). Raja Sri Kresna Kepakisan dilantik menjadi raja dan berkedudukan di area bekas perkemahan pasukan yang dipimpin Mahapatih Gajah Mada saat menyerang kerajaan Bedahulu; Samprangan.
Dan kerajaan Samprangan didukung dan diperkuat oleh para Arya yang disamping ada di Samprangan; ada di 8 (delapan) tempat strategis di seluruh Bali, tepatnya di perkemahan laskar-laskar Majapahit sebelumnya. Para pemimpin itu adalah Arya Kanuruhan, Arya Wang Bang, Arya Kenceng, Arya Dalancang, Arya Belog, Arya Manguri, Arya Kuta Waringin, Arya Gajah Para (di Toya Anyar/ Tianyar, Karangasem).
Suatu saat Sri Kresna Kepakisan dengan Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Mustika menuju Silangungang; yang kemudian membangun tempat Suci yang disebut dengan Batu Nguwus; dengan pemandangannya yang sangat indah Disebutkan juga di Seseh beliau membangun tempat pemujaan Sang Hyang Anantadi dan Sang Hyang Samudra; menunjukan beliau sebagai pasangan yang serasi. Dari seni pasangan serasi ini ke ujung selatan Bali; Pecatu. Dan dalam perjalanan kembali ke Puri Samprangan beliau melewati Pantai Lebih.
Digambarkan pula Raja ini membangun masyarakatnya dengan menata pemukiman dan pertanian; persawahan dan pegagan (kebun). Demi kesuksesan pekerjaan besar ini Ida Rsi Mustika mendapat tugas melakukan upacara Boganan lan Angkus, dengan memanfaatkan Panca Bajra.
Sri Kresna kepakisan tercatat memerintah 1352-1371M, selanjutnya digantikan oleh putra beliau pada tahun 1372; dengan Bhiseka Agra Samprangan. Raja ini dikenal dengan raja pesolek sehingga tidak disenangi oleh rakyat dan pejabat kerajaan; karena tidak memperhatikan jalannya pemerintahan. Akhirnya Patih Samprangan yang berkedudukan di Gelgel menobatkan adik beliau Ida Dalem Ketut Ngelesir menjadi raja dengan gelar Sri Asmara Kepakisan. Sehingga Bali memiliki pemerintahan kembar; satu di Samprangan dan satunya lagi di Gelgel. Dan akhirnya Agra Samprangan berkenan mengundurkan diri; sehingga secara resmi Sri Asmara Kepakisan memerintah Bali (1380-1460); dan pusat pemerintahan pindah ke Gelgel.
Pada tahun 1398, saat pemerintahan putri Hayam Wuruk; Kesumawardhani (1389-1426); beliau memerintahkan Sang Wijaya Rajasa Raja dari Wengker untuk mendampingi Raja Bali. Pemerintahan Sri Asmara Kepakisan Yang didampingi Puruhita Waisnawa, ternyata maju dan berhasil merebut kembali hati rakyat Bali, dengan membangun patung untuk menghormati Raja Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten di Tegeh Koripan, Gunung Penulisan pada 4 April 1430 (sesuai catatan dibelakang patung.); dan membangun Pura Dasar Gelgel yang dihormati seluruh lapisan masyarkat (sekta yang ada).  
Diceritakan Ida Rsi Mustika meninggalkan hutan Jenggala menuju ke timur dan sampai di suatu tempat yang kemudian dijadikan tempat bermukim. Tempat itu kemudian dikenal masyarakat dengan se-ungguan (tempat suci) di (Sela-pegat) Lepang. Setelah tua beliau pergi ke Besakih mendirikan Pesraman; dan akhirnya lebar dilingkungan Suci tersebut. Kemudian oleh keturunan beliau, Maha Warga Bhujangga Waisnwa, beliau distanakan di Pedharman Bhujangga Waisnawa di Pura Besakih, Rendang; Karangasem. Pura Pedharman ini disembah oleh semua keturunan beliau, Maha Warga Bhujangga Waisnawa

Putra beliau Ida Bagus Angker sempat hidup di Lepang, kemudian pergi ke daerah pegunungan di Tabanan. Pesraman beliau disebut Gunung Sari (Giri Kesuma) dan pemukiman tempat melayani para pengikut beliau dikenal dengan Jati Luwih. Ketaatan beliau menjalani tapa brata sangat berhasil dan setelah beliau melaksanakan Diksa Viddhi beliau ber-bhiseka Ida Bhagawan Rsi Canggu.
Pada tempat itu juga Ida Bhagawan Rsi Canggu bersama Arya WangBang mendirikan tempat Suci yang diberi nama Pura Petali (petalian=paiketan, persatuan); disungsung Masya-rakat dan Pemerintah Tabanan. Dari pesraman Giri Kesuma beliau pergi ke dekat pesisir Kediri Tabanan, dan mendirikan Pra Kalipisan di Desa Nyitdah. Disini beliau hidup bersama keluarga; dan memiliki 4 orang; 3 orang putra dan seorang putrid.
Seorang dari putra beliau Ida Bhujangga Guru kemudian menjadi Puruhita di kerajaan Gelgel; dan mengambil putri Dalem Waturenggong menjadi istri yang kemudian hidup menetap di Pesraman Gunungsari Jatiluwih.
Belakangan Pesraman ini menjadi Pura Luhur Bhujangga Waisnawa Gunung Sari. Dan disana diyakini berstana 13 orang Ida Rsi Bhujangga Waisnawa; seorang dari beliau adalah Ida rsi Bhujangga Waisnawa Istri. Tentu termasuk diantara beliau adalah Ida Bhagawan Rsi Canggu dan Ida Bhujanga Guru (Ida Rsi BW Guru)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar