Ada
sebuah Pura, hanya sekitar 200 meter di sebelah tenggara dari Pura Desa Denpasar.
Persisnya di belakang deretan toko-toko Jalan Sulawesi. Dikelilingi jalan dan
gang; disebelah utara jalan Pulau Ternate, disisi timur dan barat gang; dan
disebelah selatan Jaba Pura yang menyatu dengan gang. Tempat ini cukup lapang
sehingga sering menjadi tempat melaksanakan berbagai kegiatan yadnya dan
kegiatan lainnya seperti pertunjukan kesenian.
Pura
ini dulu memanjang ke barat, Jaba Sisinya sampai di tepian Tukad Badung, di sebelah selatan Jalan Gajah Mada sekarang. Bagaimanakah Sejarahnya?
Para Sejarawan kita mengungkap,
sejak jaman Bali Kuno, Bali telah memiliki hubungan dengan Jawa. Seorang putra Bali, Raja Sri Dharma Udayana Warmadewa mempersunting putri kerajaan Mataram kuno, bernama
Mahendradatta; kemudian berputra tiga orang; Airlangga, Marakata, Anak Wungsu.
Pada
tahun 1284 Bali pernah diserang prajurit Raja Kerta Negara dari Kerajaan Singasari; dan
pada tahun 1343 ekspedisi Gajah Mada menundukkan Raja Sri Asta Sura Ratna Bhumi
Banten (Bedaulu), namun rakyat Bali tidak menerima keadaan itu. Dan tetap
melakukan perlawanan terhadap pendudukan prajurit Majapahit, sehingga Bali
gonjang-ganjing sekitar 7 sampai 9 tahun. Bali merasa masih ada dibawah
lindungan Daha, yang masih keturunan Raja Dharma Udayana Warmadewa (989-1011),
walaupun Daha telah ditundukkan Raden Wijaya pada tahun 1293 dalam usaha
mendirikan Kerajaan Majapahit.
Akhirnya para pemuka Bali Aga yang
mengetahui betul permasalahan yang sesungguhnya memberanikan diri menghadap ke
Majapahit untuk meminta pemimipin yang dapat diterima rakyat Bali. Buku Sejarah
Perkembangan Agama Hindu di Bali, mengungkap sebagai berikut:
Untuk
menjaga keutuhan Bali, Patih Ulung, Arya Pemacekan dan Arya Kepasekan
memberanikan diri menghadap ke Majapahit, bertujuan memohon supaya diadakan wakil raja di Bali
yang mampu mengatasi ketegangan antara prajurit Majapahit dan orang-orang Bali
Aga. Akhirnya Gajah Mada atas restu Ratu TriBhuwana Tunggadewi mengangkat putra
Mpu Kepakisan yang bernama Mpu Kresna Kepakisan seorang Keluarga Brahmana
berasal dari Daha. (Tim. 1985/1986: 66)
Setelah resmi menjadi raja
berkedudukan di Samprangan; status brahmana beliau (Mpu) diubah menjadi
kesatrya; Sri Kresna Kepakisan.
Kita
masih ingat kerajaan Panjalu yang istananya di Kahuripan[1];
dipecah dua karena kedua putra Airlangga berebut menjadi raja, setelah Chili
Suci, putri tertuanya yang telah disiapkan, menolak menjadi Ratu dan malah
memilih menjadi pertapa (Rsi). Jadi Mpu Kepakisan adalah Brahmana dari
lingkungan keluarga Airlangga, putra Bali yang menjadi Raja di Jawa Timur.
Tentang kekacauan ini, “Bhuwana
Tatwa” mengukap lebih lengkap; karena lama tidak ada raja, menyebabkan Bali
menjadi kacau-mencekam, sunyi dan sepi. Setelah itu, sejak tahun isaka 1272
(1350 M) Sri Aji Maharaja Kepakisan seorang rohaniawan Kediri oleh Kriyan Patih
Gajah Mada dinobatkan menjadi raja Bali. Didampingi Ida Rsi Waisnawa Mustika;
yang juga bernama Ida Rsi Semaranata. Perlengkapan keraton, pakaian kebesaran kerajaan
dan keris si Ganja Dungkul melengkapi kewibawaan beliau di Bali. Sedangkan Ida
Rsi Waisnawa Mustika sebagai pendamping raja juga membawa senjata lengkap,
diantaranya Panca Bajra (bajra oter, bajra padma, bajra orag, bajra katipluk, bajra
sungu); berbagai Kitab Suci (seperti weda bhumi tua, bhumi kemulan, reg weda,
yayur weda serta doa-doa penghantar atman, antara lain bwat-sot, pralina,
pangentas); dan wariga (cara menentukan hari baik) selengkapnya. (Ginarsa, 1979; 21)
Dari uraian diatas dapat ditarik
benang merah, bahwa Ida Rsi Waisnawa Mustika sejatinya menjadi pendamping
Pendeta keturunan Raja Airlannga, dinobatkan menjadi raja Bali oleh Maha Patih
Gajah Mada di Istana Samprangan.
Selanjutnya
setelah ‘mokhsa’, Ida Rsi Mustika distanakan di Pedharman Bhujangga Waisnawa,
Besakih dan disembah oleh Maha Warga Bhujangga Waisnawa. Putra beliau Ida Bagus
Angker, berdomisili di Jatiluwih, kemudian menjadi pendeta, yang ber-‘bhiseka’
Ida Bhagawan Rsi Canggu. Dan setelah pralina beliau distanakan di Pura Luhur
Kawitan Bhujangga Waisnawa Gunung Sari di Desa Jatiluwih.
Sri
Kresna Kepakisan didalam pemerintahannya dibantu para Arya Daha dan Majapahit,
tentu kesetiaannya terhadap Majapahit tidak diragukan, dan pemerintahan menjadi
sangat stabil. Apa lagi menurut buku “Sejarah Bali” Sang patih Agung adalah
Arya Kepakisan keturunan dari Sri Airlangga yang memerintah di Jawa Timur sejak
1019-1042M (Tim. 1986; 124).
Nampak
sekali bahwa masyarakat Bali saat itu merindukan pemimpin keturunan Bali,
sehingga kerajaan saat itu kental dengan nuansa Waisnawa. Dan ternyata dinasti
Kepakisan ini berkuasa sekitar 556 tahun; tepatnya baru berakhir awal abad
ke-20, yang ditandai dengan perang Puputan Klungkung tahun 1908.
Setelah 23 tahun berkuasa Raja
pertama Dinasti Kepakisan ini diganti putra sulungnya; Dalem Agra Samprangan,
tetapi raja muda ini gagal dalam pemerintahan, lemah, lamban, sangat tidak
berwibawa dimata rakyat; gemar bersolek sehingga dijuluki Dalem Ile.
Terjadi
perpecahan diantara pejabat pemerintahan, yang semakin memuncak. Demi keselamatan kerajaan, adik beliau Dewa Tarukan
yang tak tertarik menjadi raja mengutus putranya Raden Kuda Penandang Kajar
untuk menjemput pamannya Dewa Ketut Ngelesir, namun ditolak. Akhirnya Arya
Kebon Tubuh, Bendesa Gelgel berinisiatif menjemput Dewa Ketut Ngelesir dari
pengembaraan. Akhirnya bersedia; namun mengendalikan kerajaan dari rumah
Bendesa di Gelgel. Bali memiliki raja kembar namun saling menghormati; sampai
Agra Samprangan wafat. Dengan demikian kerajaan Samprangan berakhir, muncul Kerajaan
Gelgel.
Kresna
Kepakisan memerintah tahun 1350-1373, Dalem Ketut Ngelesir memerintah tahun
1380-1460; maka Agra Samprangan menjadi raja paling sedikit selama tujuh tahun.
Tujuh tahun kerajaan tak terurus, dan sempat dipimpin raja kembar, jadi kekacauan
berlangsung cukup lama.
Saat itu Sang Hyang Sunia Hening
dari Majapahit mengutus putranya, Ida Bhujangga Aji Manu untuk menentramkan Bali.
Namun karena kekacauan telah meluas sampai pada tingkat pemerintahan terbawah
dan menimbulkan banyak peperangan antar banjar atau desa; beliau gagal
menanganinya. Menurut buku “Bhuwana Tatwa”, tepat pada hari Raya Galungan tahun
1380 M (Buda Kliwon Dungulan, Titi Sasih Awidia, rah 9, tenggek 1, Isaka 1302,
warsa yusaning loka.) kakak beliau menyusul datang ke Bali, dan telah cukup
lama ada di Pulaki. Akhirnya dari Pulaki
beliau pindah ke Baratan. Disana diberi
bhiseka Ida Rsi Gede Madura karena berhasil membangun Pura Madura; dan juga
Pura Gunung Sari, di Asah Danu. (Ginarsa, K. 1979: 27)
Menyasar
masyarakat pantai, pegunungan sekitar danau, diduga beliau telah menerapkan
konsep hidup bersahabat dengan Alam; seperti melestarikan Segara, Wana dan Danau.
Keberhasilan membangun pura, menandakan beliau sukses membina masyarakat,
terutama para pemukanya, menggambarkan kemampuan beliau mensejahterakan
masyarakat (Jagat Kertih) dan menciptakan keharmonisan dengan sesama (Jana
Kertih). Keberhasilan membangun Pura, juga menggambarkan penerapan Sad Kertih demi
menggapai Tri Hita Karana, menjadi lengkap. Diyakini, Ida Rsi Gede Madura selalu
mewujudkan swadharma mulia tersebut. Bijaksana, damai dan tulus dalam
bertirta-yatra mewarnai pengembaraan beliau di Bali.
“Bhuana Tatwa” kembali mengungkap perjalanan
beliau; kali ini ke timur, melalui desa Panghyangan; Teledu-nginyah, Gumbrih;
Batu Mejan juga Suryabrata (kini: Surabrata). Setelah meninggalkan Surabrata,
beliau akhirnya menetap di Batan Getas. Disana beliau membangun Paryangan Dalem
Pauman, sebagai “penyiwian” para Kesatrya, Punggawa dan Brahmana Bhujangga. Kemudian
Ida Rsi Madura meninggalkan Batan Getas menuju Baratan, tempat beliau dulu.
(Ginarsa, K. 1979:27)
Pura ini penyiwian para Kesatrya, Punggawa atau
pejabat Kerajaan dan para Brahmana Bhujngga, tentu ada yang istimewa disana.
Dimana ada semut disana pasti ada gula; sebaliknya dimana ada gula pasti disana
ada semut.
Memilih lokasi disekitar mata air
atau sungai, sesuai konsep selalu bersahabat dengan alam. Dan sebagai layaknya
pura besar lainnya, pura di pinggir Tukad Badung ini juga memiliki Tri Mandala
(Jero-Jaba Tengah-Jaba Sisi) dan bagian hulu (Utama Mandala) pura dikelilingi
telaga-tujung, sebagai pembatas (penyangga; pekandelan) dengan lingkungan sekitarnya. Dan airnya dari tukad
Bulan yang mengalir di sebelah timur Griya. Disejukkan oleh rimbunnya pohon mangga disekitar pura; sehingga menjadi ciri dari pura. Mangga, bahasanya Bali; adalah poh atau getas. Karenanya Pura ini dikenal oleh masyarakat
sebagai Pura Batan Getas. Rupanya pengelingsir kita ingin menyampaikan pesan tentang pura ini, yang sejatinya bermakna Padang Entas, Jalan yang Terang. Peaan ini dikuatkan dengan adanya “patung bermata tunggal” disana.
Patung
Ratu Ngurah Agung, Netra Tunggal
|
Mengenai demikian pentingnya Netra
Tunggal ini, “Pustaka Usana Bali Usana Jawa” menyebut -nya sebagai ‘Dumen Tanpa
Heleng’ dalam sebuah dialog seorang Raja dengan para Arya: “Sebagai sarana bagi
Adinda ketika kembali ke daerah asal (Batur Kelawasan), kalau anda meninggal
dunia; walaupun tanpa ilmu pengetahuan, Adinda cukup hanya mencipta. Bagaimana
caranya?. Kendalikan pernafasan; bila nafas telah tertutup, himpunlah dalam
hati sanubari; kemudian tempatkan pada ujung peluru-sumpit; tetap teguh, tanpa
ragu, hembuskan melalui ‘Dumen tanpa Heleng’ (sumpit/tulup tanpa lubang).
Betul-betul tanpa pikiran, tanpa kesadaran, tanpa mantra, Sang Atman pergi
tanpa wahana, suci murni, menyertakan 18 windu gaib ketika rokh suci
meninggalkan angga sarira. Adinda harus mengendalikan pernafasan, menutup 9
lubang, jangan sampai menyebar. Jangan menghembuskan nafas selain dari
sela-sela kening, dengan cara memusatkan pikiran” (Tim, 1986:109)
Kembali kepada Ida Dalem Ketut
Ngelesir, raja pertama yang berpusat di Gelgel ini kemudian diganti oleh putranya
Ida Dalem Baturenggong (1460-1550). Sejarah mencatat dibawah raja ini Gelgel
mencapai puncak kejayaannya. Dan menurut buku Perjalanan Dang-hyang Nirattha,
kedatangan Pendeta Siwa ini di Bali tahun 1489. (Soegianto Sastrodiwiryo. Dr; 2008:
28)
Sejak patih kerajaan, Kryan Agung Maruti
membelot menguasai Gelgel (1665-1686), para Arya di seluruh Bali menyatakan
bebas-merdeka, terlepas dari Gelgel, jadi kerajaan tersendiri.
Beberapa
kerajaan baru dengan pemerintahan yang otonom, dipimpin oleh para Arya dan
Ksatriya Dalem, adalah: Karangasem, Sidemen, Taman Bali, Bangli. Bahkan muncul
kerajaan-kerajaan besar dan kuat serta tidak mau tunduk pada kekuasaan Gelgel
seperti Buleleng, Badung dan Tabanan dipimpin rajanya masing-masing (Tim; 1986:
139). Pada abad ke-19 Bali terbagi menjadi sembilan wilayah kerajaan seperti
Buleleng, Jembrana, Karangsem, Mengwi, Gianyar, Bangli, Badung, Tabanan,
Klungkung.
Dengan jatuhnya Kerajaan Klungkung tahun 1908 ke tangan pemerintah
Belanda melalui perang puputan maka mulailah seluruh Daerah Bali dibawah
pemerintahan kolonial Belanda. Namun Bali dinyatakan memasuki Masa Bali Baru,
semenjak Bali berkenalan dengan pengaruh dunia barat seperti sistem pendidikan
modern, sistem pemerintahan barat dan lain-lainya. Dan dengan jatuhnya Benteng
Jagaraga ke tangan Belanda tahun 1846 maka semenjak itu daerah Bali telah
bekenalan dengan pengaruh dunia Barat. Karena itu Masa Bali Baru[2] mulai dari tahun 1846
hingga masa pembangunan sekarang (Tim, 1986:
3)
Tanggal 20 Septembet 1906 terjadi Puputan
Badung, dan setelah itu Kerajaan Badung praktis sepenuhnya dibawah kendali
kolonial Belanda. Pengangkatan Raja dan pejabat-pejabat bawahannya sepenuhnya
diatur oleh Belanda. Dan keluarga kita saat itu berada pada posisi sebagai
obyek pemerintahan; dan bukan sebagai subyek.
Tak lama setelah itu Kolonial Belanda mulai
melakukan penataan kota Denpasar, dan
mengambil-alih wilayah perumahan pejabat kerajaan di sebelah barat Lapangan
(Kodam IX Udayana dan Dinas PU sekarang) dijadikan pusat pemerintahan dan
pembangunan.
Penataan
kota merupakan hal yang lumrah, namun yang menyesakan; ternyata penataan ini memakan
korban dua pura yaitu Pura Dangka dan Pura Dalem Pauman Padang Entas.
Pura Dangka yang bersebelah dengan Pura Desa,
digusur dan dipindahkan ke Banjar Lelangon. Lucunya mereka mengambil bagian
teben dari pekarangan rumah sementon Bhujangga Waisnawa dijadikan sebagai lokasi
Pura ini.
Bila
niat menggusur pura ini bertujuan melenyapkan pura ini, nampaknya mereka
berhasil; karena minimal sejak tahun 1950-an pura ini tidak ada lagi kegiatan
keagamaan yang menonjol disitu. Bisa jadi para penyiwinya malas atau mungkin
segan, bahkan takut melakukan kegiatan ditempat yang baru ini. Pada hal pura
ini terdiri dari dua “peleban” dan masing-masing memiliki pintu utama. Tidak
pernah ada piodalan atau pujawali; dan setelah ‘tukang sapunya’ (Gung Blet,
ayah dari Gusti Ketut Gede, Lelangon ) meninggal, akhirnya sekitar tahun 1964
pura ini dibongkar dan yang melingga di sana “dituntun” ke Pura Desa. Tanah
bekas lokasi pura ini telah dijual dan menjadi tanah milik perorangan. Maka
lenyaplah keberadaaan pura tersebut dengan segala kegiatan keagamaannya
Namun usaha pemusnahan gagal dilakukan terhadap
Pura Dalem Pauman Padang Entas[3].
Atas kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa dan wara nugraha para Leluhur Bhujangga
Waisnawa, pura ini nyatanya tetap eksis sampai detik ini. Rupanya Warga
Bhujangga Waisnawa sejak awal telah menentang usaha pemindahan Pura jagat ini
ketempat lain. Penolakan tentu tidak bisa dilakukan dengan “demo”, seperti
jaman kebebasan saat ini. Paling
dilakukan dengan cara tidak kooratif dengan pihak mereka dan berdoa.
Pembongkaran telah dimulai sekitar tahun 1918, dan rencananya “Yang Malingga”
disana akan dituntun ke Pura Tambangan Badung, Banjar Pemedilan, Denpasar.
Seperti diungkap diatas, jelas sekali
disampaikan bahwa Pura Dalem Pauman di Batan Getas itu dibangun oleh leluhur Maha
Warga Bhujangga Waisnawa; Ida Rsi Gede Madura. Dan lebih lanjut disebutkan juga
sebagai “penyiwian” para Kesatrya, Punggawa dan para Brahmana Bhujangga. Memang
faktanya sampai pada saat seorang Penglingsir Bhujangga Waisnawa menjadi jaksa
di Kerajaan Badung, Pura Dalem Pauman ini masih menjadi penyiwian, tempat
bersembahyang para Kesatrya, Punggawa dan Brahmana Bhujangga Kerajaan.
Menandakan bahwa pura ini menjadi penyiwian Jagat Badung, dan pura ini juga
memiliki prasasti.
Ketika pembongkaran hampir semua pelinggih
telah dilakukan, tiba saatnya giliran pembongkaran pelinggih utama, Gedong
Agung. Menurut beberapa penglingsir Bhujangga Waisnawa dan tetangga sebelah,
termasuk Kak Gede Genjo[4]
dari Lukluk-Titih; pada saat inilah timbul masalah bagi para pekerja. Pada saat
hampir bersamaan semua pekerja yang membongkar Gedong ini tiba-tiba kesurupan, massal
dan keadaan menjadi kacau; pekerjaan mandeg. Pekerja lain menjadi sibuk tak
jelas, bingun; ada yang berusaha menenangkan yang kesurupan, ada juga yang
takut, tak berani berbuat apa-apa, menjadi penonton saja. Dan praktis pekerja
berhenti total. Sampai-sampai petugas orang Belanda ikut didatangkan untuk
mengakhiri kesurupan masal tersebut, dan kesurupan tetap berlangsung dalam
waktu yang lama. Kejadian mengegerkan itu berkepanjangan; setiap pekerja
mencoba ikut membongkar, ikut kesurupan. Pekerjaan pembongkaran Gedong Agung
dihentikan. Dan akhirnya semua pembongkaran diputuskan untuk dihentikan. Tentu
keluarga Bhujangga Waisnawa tahu hal itu, tetapi lebih menjadi penonton pasif,
tidak ikut campur urusan kesurupan. Puncaknya Belanda membatalkan usaha
pemindahan pura ini ketempat lain.
Sejak awal Pura Dalem Pauman ini adalah tempat masyarakat memohon
Tirta Pengentas untuk Pitra Yadnya. Diyakini sebagai pembuka “Jalan Terang”
bagi atman sang lampus menuju tempat terakhirnya. Padang Entas bermakna “Jalan
yang terang”. Karena itu dusekitar Pura atau di Jaba Sisi pura ditanami pohon
mangga. Pohon Mangga = getas. Sehingga Masyarakat lebih menganal wilayah
pelemahan pura ini sebagai Batan Getas
[1]Ibu kota kerajaan sering berpindah-pindah. Istana
Dharmawangsa di Wwatan Mas, jug jadi istana Airlangga,
walau dia dilantik di Halu. Menurut
prasasti Terep tahun 1032, karena diserbu musuh; Airlangga menyingkir ke
Patakan (istana sementara), sebelum akhirnya menundukan Raja Wara-wuri. Namun
Airlangga tidak kembali ke Wwatan Mas, tapi menempati istana baru di Kahuripan.
Pada tahun 1042, saat kerajaan Panjalu dipecah dua, Istana Kahuripan dijadikan
pusat kerajaan-timur yang bernama Jenggala dan Panjalu yang juga bernama Kediri
menjadi kerajaan barat, berpusat di istana baru yang bernama Dahana Pura atau Istana Daha.
[2]
Berdasarkan peninggalan-peninggalan yang ditemukan maka Perkembangan Sejarah
Bali dari masa yang tertua sampai masa sekarang secara garis besar dapat dibagi
atas empat zaman yaitu: 1. Zaman Pra Sejarah; 2. Zaman Bali Kuno; 3. Zaman Bali
Pertengahan dan 4. Zaman Bali Baru
[3]
Sejak awal Pura Dalem Pauman ini adalah tempat masyarakat memohon Tirta
Pengentas untuk Pitra Yadnya. Diyakini sebagai pembuka “Jalan Terang” bagi
atman sang lampus menuju tempat terakhirnya. Padang Entas bermakna “Jalan yang
terang”. Karena itu dusekitar Pura atau di Jaba Sisi pura ditanami pohon
mangga. Pohon Mangga = getas. Sehingga Masyarakat lebih menganal wilayah
pelemahan pura ini sebagai Batan Getas
[4]Kak
Genjo, pungkusan dari ayahnya Pak Puger dari Lukluk, sebelah selatan kompleks
Perumahan Warga Bhujangga Waisnawa di Batan Getas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar