Senin, 04 Juni 2018

SEJARAH PURA DALEM PAUMAN PADANG ENTAS


Ada sebuah Pura, hanya sekitar 200 meter di sebelah tenggara dari Pura Desa Denpasar. Persisnya di belakang deretan toko-toko Jalan Sulawesi. Dikelilingi jalan dan gang; disebelah utara jalan Pulau Ternate, disisi timur dan barat gang; dan disebelah selatan Jaba Pura yang menyatu dengan gang. Tempat ini cukup lapang sehingga sering menjadi tempat melaksanakan berbagai kegiatan yadnya dan kegiatan lainnya seperti pertunjukan kesenian.
Pura ini dulu memanjang ke barat, Jaba Sisinya sampai di tepian Tukad Badung, di sebelah selatan Jalan Gajah Mada sekarang. Bagaimanakah Sejarahnya?
Para Sejarawan kita mengungkap, sejak jaman Bali Kuno, Bali telah memiliki hubungan dengan Jawa. Seorang putra Bali, Raja Sri Dharma Udayana Warmadewa mempersunting putri kerajaan Mataram kuno, bernama Mahendradatta; kemudian berputra tiga orang; Airlangga, Marakata, Anak Wungsu.
Pada tahun 1284 Bali pernah diserang prajurit Raja Kerta Negara dari Kerajaan Singasari; dan pada tahun 1343 ekspedisi Gajah Mada menundukkan Raja Sri Asta Sura Ratna Bhumi Banten (Bedaulu), namun rakyat Bali tidak menerima keadaan itu. Dan tetap melakukan perlawanan terhadap pendudukan prajurit Majapahit, sehingga Bali gonjang-ganjing sekitar 7 sampai 9 tahun. Bali merasa masih ada dibawah lindungan Daha, yang masih keturunan Raja Dharma Udayana Warmadewa (989-1011), walaupun Daha telah ditundukkan Raden Wijaya pada tahun 1293 dalam usaha mendirikan Kerajaan Majapahit.
Akhirnya para pemuka Bali Aga yang mengetahui betul permasalahan yang sesungguhnya memberanikan diri menghadap ke Majapahit untuk meminta pemimipin yang dapat diterima rakyat Bali. Buku Sejarah Perkembangan Agama Hindu di Bali, mengungkap sebagai berikut:
Untuk menjaga keutuhan Bali, Patih Ulung, Arya Pemacekan dan Arya Kepasekan memberanikan diri menghadap ke Majapahit, bertujuan  memohon supaya diadakan wakil raja di Bali yang mampu mengatasi ketegangan antara prajurit Majapahit dan orang-orang Bali Aga. Akhirnya Gajah Mada atas restu Ratu TriBhuwana Tunggadewi mengangkat putra Mpu Kepakisan yang bernama Mpu Kresna Kepakisan seorang Keluarga Brahmana berasal dari Daha. (Tim. 1985/1986: 66)
Setelah resmi menjadi raja berkedudukan di Samprangan; status brahmana beliau (Mpu) diubah menjadi kesatrya; Sri Kresna Kepakisan.
Kita masih ingat kerajaan Panjalu yang istananya di Kahuripan[1]; dipecah dua karena kedua putra Airlangga berebut menjadi raja, setelah Chili Suci, putri tertuanya yang telah disiapkan, menolak menjadi Ratu dan malah memilih menjadi pertapa (Rsi). Jadi Mpu Kepakisan adalah Brahmana dari lingkungan keluarga Airlangga, putra Bali yang menjadi Raja di Jawa Timur.
Tentang kekacauan ini, “Bhuwana Tatwa” mengukap lebih lengkap; karena lama tidak ada raja, menyebabkan Bali menjadi kacau-mencekam, sunyi dan sepi. Setelah itu, sejak tahun isaka 1272 (1350 M) Sri Aji Maharaja Kepakisan seorang rohaniawan Kediri oleh Kriyan Patih Gajah Mada dinobatkan menjadi raja Bali. Didampingi Ida Rsi Waisnawa Mustika; yang juga bernama Ida Rsi Semaranata. Perlengkapan keraton, pakaian kebesaran kerajaan dan keris si Ganja Dungkul melengkapi kewibawaan beliau di Bali. Sedangkan Ida Rsi Waisnawa Mustika sebagai pendamping raja juga membawa senjata lengkap, diantaranya Panca Bajra (bajra oter, bajra padma, bajra orag, bajra katipluk, bajra sungu); berbagai Kitab Suci (seperti weda bhumi tua, bhumi kemulan, reg weda, yayur weda serta doa-doa penghantar atman, antara lain bwat-sot, pralina, pangentas); dan wariga (cara menentukan hari baik) selengkapnya. (Ginarsa, 1979; 21)
Dari uraian diatas dapat ditarik benang merah, bahwa Ida Rsi Waisnawa Mustika sejatinya menjadi pendamping Pendeta keturunan Raja Airlannga, dinobatkan menjadi raja Bali oleh Maha Patih Gajah Mada di Istana Samprangan.
Selanjutnya setelah ‘mokhsa’, Ida Rsi Mustika distanakan di Pedharman Bhujangga Waisnawa, Besakih dan disembah oleh Maha Warga Bhujangga Waisnawa. Putra beliau Ida Bagus Angker, berdomisili di Jatiluwih, kemudian menjadi pendeta, yang ber-‘bhiseka’ Ida Bhagawan Rsi Canggu. Dan setelah pralina beliau distanakan di Pura Luhur Kawitan Bhujangga Waisnawa Gunung Sari di Desa Jatiluwih.

Sri Kresna Kepakisan didalam pemerintahannya dibantu para Arya Daha dan Majapahit, tentu kesetiaannya terhadap Majapahit tidak diragukan, dan pemerintahan menjadi sangat stabil. Apa lagi menurut buku “Sejarah Bali” Sang patih Agung adalah Arya Kepakisan keturunan dari Sri Airlangga yang memerintah di Jawa Timur sejak 1019-1042M (Tim. 1986; 124).
Nampak sekali bahwa masyarakat Bali saat itu merindukan pemimpin keturunan Bali, sehingga kerajaan saat itu kental dengan nuansa Waisnawa. Dan ternyata dinasti Kepakisan ini berkuasa sekitar 556 tahun; tepatnya baru berakhir awal abad ke-20, yang ditandai dengan perang Puputan Klungkung tahun 1908.
Setelah 23 tahun berkuasa Raja pertama Dinasti Kepakisan ini diganti putra sulungnya; Dalem Agra Samprangan, tetapi raja muda ini gagal dalam pemerintahan, lemah, lamban, sangat tidak berwibawa dimata rakyat; gemar bersolek sehingga dijuluki Dalem Ile.
Terjadi perpecahan diantara pejabat pemerintahan, yang semakin memuncak. Demi  keselamatan kerajaan, adik beliau Dewa Tarukan yang tak tertarik menjadi raja mengutus putranya Raden Kuda Penandang Kajar untuk menjemput pamannya Dewa Ketut Ngelesir, namun ditolak. Akhirnya Arya Kebon Tubuh, Bendesa Gelgel berinisiatif menjemput Dewa Ketut Ngelesir dari pengembaraan. Akhirnya bersedia; namun mengendalikan kerajaan dari rumah Bendesa di Gelgel. Bali memiliki raja kembar namun saling menghormati; sampai Agra Samprangan wafat. Dengan demikian kerajaan Samprangan berakhir, muncul Kerajaan Gelgel.

Kresna Kepakisan memerintah tahun 1350-1373, Dalem Ketut Ngelesir memerintah tahun 1380-1460; maka Agra Samprangan menjadi raja paling sedikit selama tujuh tahun. Tujuh tahun kerajaan tak terurus, dan sempat dipimpin raja kembar, jadi kekacauan berlangsung cukup lama.
Saat itu Sang Hyang Sunia Hening dari Majapahit mengutus putranya, Ida Bhujangga Aji Manu untuk menentramkan Bali. Namun karena kekacauan telah meluas sampai pada tingkat pemerintahan terbawah dan menimbulkan banyak peperangan antar banjar atau desa; beliau gagal menanganinya. Menurut buku “Bhuwana Tatwa”, tepat pada hari Raya Galungan tahun 1380 M (Buda Kliwon Dungulan, Titi Sasih Awidia, rah 9, tenggek 1, Isaka 1302, warsa yusaning loka.) kakak beliau menyusul datang ke Bali, dan telah cukup lama ada di Pulaki.  Akhirnya dari Pulaki beliau pindah  ke Baratan. Disana diberi bhiseka Ida Rsi Gede Madura karena berhasil membangun Pura Madura; dan juga Pura Gunung Sari, di Asah Danu. (Ginarsa, K. 1979: 27)
Menyasar masyarakat pantai, pegunungan sekitar danau, diduga beliau telah menerapkan konsep hidup bersahabat dengan Alam; seperti melestarikan Segara, Wana dan Danau. Keberhasilan membangun pura, menandakan beliau sukses membina masyarakat, terutama para pemukanya, menggambarkan kemampuan beliau mensejahterakan masyarakat (Jagat Kertih) dan menciptakan keharmonisan dengan sesama (Jana Kertih). Keberhasilan membangun Pura, juga menggambarkan penerapan Sad Kertih demi menggapai Tri Hita Karana, menjadi lengkap. Diyakini, Ida Rsi Gede Madura selalu mewujudkan swadharma mulia tersebut. Bijaksana, damai dan tulus dalam bertirta-yatra mewarnai pengembaraan beliau di Bali.
“Bhuana Tatwa” kembali mengungkap perjalanan beliau; kali ini ke timur, melalui desa Panghyangan; Teledu-nginyah, Gumbrih; Batu Mejan juga Suryabrata (kini: Surabrata). Setelah meninggalkan Surabrata, beliau akhirnya menetap di Batan Getas. Disana beliau membangun Paryangan Dalem Pauman, sebagai “penyiwian” para Kesatrya, Punggawa dan Brahmana Bhujangga. Kemudian Ida Rsi Madura meninggalkan Batan Getas menuju Baratan, tempat beliau dulu. (Ginarsa, K. 1979:27)
Pura ini  penyiwian para Kesatrya, Punggawa atau pejabat Kerajaan dan para Brahmana Bhujngga, tentu ada yang istimewa disana. Dimana ada semut disana pasti ada gula; sebaliknya dimana ada gula pasti disana ada semut.
Memilih lokasi disekitar mata air atau sungai, sesuai konsep selalu bersahabat dengan alam. Dan sebagai layaknya pura besar lainnya, pura di pinggir Tukad Badung ini juga memiliki Tri Mandala (Jero-Jaba Tengah-Jaba Sisi) dan bagian hulu (Utama Mandala) pura dikelilingi telaga-tujung, sebagai pembatas (penyangga; pekandelan) dengan lingkungan sekitarnya. Dan airnya dari tukad Bulan yang mengalir di sebelah timur Griya. Disejukkan oleh rimbunnya pohon mangga disekitar pura; sehingga menjadi ciri dari pura. Mangga, bahasanya Bali; adalah poh atau getas. Karenanya Pura ini dikenal oleh masyarakat sebagai Pura Batan Getas. Rupanya pengelingsir kita ingin menyampaikan pesan tentang pura ini, yang sejatinya bermakna Padang Entas, Jalan yang  Terang. Peaan ini dikuatkan dengan adanya “patung bermata tunggal” disana.

Patung Ratu Ngurah Agung, Netra Tunggal
Patung inilah yang menjadi ciri dari Pura Waisnawa ini. Meyakini bahwa mata-tunggal itu adalah “jalan terang”, pintu menuju Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Netra Tunggal bermakna mata ketiga, mata-batin atau mata rohani. Pesan yang disampaikan Ida Rsi Madura inilah oleh para pengelingsir Bhujangga Waisnawa diyakini sebagai cara untuk mencapai kesadaran rohani. Mediksa bagi seorang Waisnwa adalah upaya membuka mata ketiga atau mata batin, lahir untuk kedua kali, Dwijati; mencapai kesadaran rohani.
Mengenai demikian pentingnya Netra Tunggal ini, “Pustaka Usana Bali Usana Jawa” menyebut -nya sebagai ‘Dumen Tanpa Heleng’ dalam sebuah dialog seorang Raja dengan para Arya: “Sebagai sarana bagi Adinda ketika kembali ke daerah asal (Batur Kelawasan), kalau anda meninggal dunia; walaupun tanpa ilmu pengetahuan, Adinda cukup hanya mencipta. Bagaimana caranya?. Kendalikan pernafasan; bila nafas telah tertutup, himpunlah dalam hati sanubari; kemudian tempatkan pada ujung peluru-sumpit; tetap teguh, tanpa ragu, hembuskan melalui ‘Dumen tanpa Heleng’ (sumpit/tulup tanpa lubang). Betul-betul tanpa pikiran, tanpa kesadaran, tanpa mantra, Sang Atman pergi tanpa wahana, suci murni, menyertakan 18 windu gaib ketika rokh suci meninggalkan angga sarira. Adinda harus mengendalikan pernafasan, menutup 9 lubang, jangan sampai menyebar. Jangan menghembuskan nafas selain dari sela-sela kening, dengan cara memusatkan pikiran” (Tim, 1986:109)
Kembali kepada Ida Dalem Ketut Ngelesir, raja pertama yang berpusat di Gelgel ini kemudian diganti oleh putranya Ida Dalem Baturenggong (1460-1550). Sejarah mencatat dibawah raja ini Gelgel mencapai puncak kejayaannya. Dan menurut buku Perjalanan Dang-hyang Nirattha, kedatangan Pendeta Siwa ini di Bali tahun 1489. (Soegianto Sastrodiwiryo. Dr; 2008: 28)
Sejak patih kerajaan, Kryan Agung Maruti membelot menguasai Gelgel (1665-1686), para Arya di seluruh Bali menyatakan bebas-merdeka, terlepas dari Gelgel, jadi kerajaan tersendiri.
Beberapa kerajaan baru dengan pemerintahan yang otonom, dipimpin oleh para Arya dan Ksatriya Dalem, adalah: Karangasem, Sidemen, Taman Bali, Bangli. Bahkan muncul kerajaan-kerajaan besar dan kuat serta tidak mau tunduk pada kekuasaan Gelgel seperti Buleleng, Badung dan Tabanan dipimpin rajanya masing-masing (Tim; 1986: 139). Pada abad ke-19 Bali terbagi menjadi sembilan wilayah kerajaan seperti Buleleng, Jembrana, Karangsem, Mengwi, Gianyar, Bangli, Badung, Tabanan, Klungkung.
Dengan jatuhnya Kerajaan Klungkung tahun 1908 ke tangan pemerintah Belanda melalui perang puputan maka mulailah seluruh Daerah Bali dibawah pemerintahan kolonial Belanda. Namun Bali dinyatakan memasuki Masa Bali Baru, semenjak Bali berkenalan dengan pengaruh dunia barat seperti sistem pendidikan modern, sistem pemerintahan barat dan lain-lainya. Dan dengan jatuhnya Benteng Jagaraga ke tangan Belanda tahun 1846 maka semenjak itu daerah Bali telah bekenalan dengan pengaruh dunia Barat. Karena itu Masa Bali Baru[2] mulai dari tahun 1846 hingga masa pembangunan sekarang (Tim, 1986: 3)
Tanggal 20 Septembet 1906 terjadi Puputan Badung, dan setelah itu Kerajaan Badung praktis sepenuhnya dibawah kendali kolonial Belanda. Pengangkatan Raja dan pejabat-pejabat bawahannya sepenuhnya diatur oleh Belanda. Dan keluarga kita saat itu berada pada posisi sebagai obyek pemerintahan; dan bukan sebagai subyek.
Tak lama setelah itu Kolonial Belanda mulai melakukan penataan kota Denpasar, dan mengambil-alih wilayah perumahan pejabat kerajaan di sebelah barat Lapangan (Kodam IX Udayana dan Dinas PU sekarang) dijadikan pusat pemerintahan dan pembangunan.
Penataan kota merupakan hal yang lumrah, namun yang menyesakan; ternyata penataan ini memakan korban dua pura yaitu Pura Dangka dan Pura Dalem Pauman Padang Entas.
Pura Dangka yang bersebelah dengan Pura Desa, digusur dan dipindahkan ke Banjar Lelangon. Lucunya mereka mengambil bagian teben dari pekarangan rumah sementon Bhujangga Waisnawa dijadikan sebagai lokasi Pura ini.
Bila niat menggusur pura ini bertujuan melenyapkan pura ini, nampaknya mereka berhasil; karena minimal sejak tahun 1950-an pura ini tidak ada lagi kegiatan keagamaan yang menonjol disitu. Bisa jadi para penyiwinya malas atau mungkin segan, bahkan takut melakukan kegiatan ditempat yang baru ini. Pada hal pura ini terdiri dari dua “peleban” dan masing-masing memiliki pintu utama. Tidak pernah ada piodalan atau pujawali; dan setelah ‘tukang sapunya’ (Gung Blet, ayah dari Gusti Ketut Gede, Lelangon ) meninggal, akhirnya sekitar tahun 1964 pura ini dibongkar dan yang melingga di sana “dituntun” ke Pura Desa. Tanah bekas lokasi pura ini telah dijual dan menjadi tanah milik perorangan. Maka lenyaplah keberadaaan pura tersebut dengan segala kegiatan keagamaannya 
Namun usaha pemusnahan gagal dilakukan terhadap Pura Dalem Pauman Padang Entas[3]. Atas kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa dan wara nugraha para Leluhur Bhujangga Waisnawa, pura ini nyatanya tetap eksis sampai detik ini. Rupanya Warga Bhujangga Waisnawa sejak awal telah menentang usaha pemindahan Pura jagat ini ketempat lain. Penolakan tentu tidak bisa dilakukan dengan “demo”, seperti jaman kebebasan saat ini.  Paling dilakukan dengan cara tidak kooratif dengan pihak mereka dan berdoa. Pembongkaran telah dimulai sekitar tahun 1918, dan rencananya “Yang Malingga” disana akan dituntun ke Pura Tambangan Badung, Banjar Pemedilan, Denpasar. 
Seperti diungkap diatas, jelas sekali disampaikan bahwa Pura Dalem Pauman di Batan Getas itu dibangun oleh leluhur Maha Warga Bhujangga Waisnawa; Ida Rsi Gede Madura. Dan lebih lanjut disebutkan juga sebagai “penyiwian” para Kesatrya, Punggawa dan para Brahmana Bhujangga. Memang faktanya sampai pada saat seorang Penglingsir Bhujangga Waisnawa menjadi jaksa di Kerajaan Badung, Pura Dalem Pauman ini masih menjadi penyiwian, tempat bersembahyang para Kesatrya, Punggawa dan Brahmana Bhujangga Kerajaan. Menandakan bahwa pura ini menjadi penyiwian Jagat Badung, dan pura ini juga memiliki prasasti.
Ketika pembongkaran hampir semua pelinggih telah dilakukan, tiba saatnya giliran pembongkaran pelinggih utama, Gedong Agung. Menurut beberapa penglingsir Bhujangga Waisnawa dan tetangga sebelah, termasuk Kak Gede Genjo[4] dari Lukluk-Titih; pada saat inilah timbul masalah bagi para pekerja. Pada saat hampir bersamaan semua pekerja yang membongkar Gedong ini tiba-tiba kesurupan, massal dan keadaan menjadi kacau; pekerjaan mandeg. Pekerja lain menjadi sibuk tak jelas, bingun; ada yang berusaha menenangkan yang kesurupan, ada juga yang takut, tak berani berbuat apa-apa, menjadi penonton saja. Dan praktis pekerja berhenti total. Sampai-sampai petugas orang Belanda ikut didatangkan untuk mengakhiri kesurupan masal tersebut, dan kesurupan tetap berlangsung dalam waktu yang lama. Kejadian mengegerkan itu berkepanjangan; setiap pekerja mencoba ikut membongkar, ikut kesurupan. Pekerjaan pembongkaran Gedong Agung dihentikan. Dan akhirnya semua pembongkaran diputuskan untuk dihentikan. Tentu keluarga Bhujangga Waisnawa tahu hal itu, tetapi lebih menjadi penonton pasif, tidak ikut campur urusan kesurupan. Puncaknya Belanda membatalkan usaha pemindahan pura ini ketempat lain.
Sejak awal Pura Dalem Pauman ini adalah tempat masyarakat memohon Tirta Pengentas untuk Pitra Yadnya. Diyakini sebagai pembuka “Jalan Terang” bagi atman sang lampus menuju tempat terakhirnya. Padang Entas bermakna “Jalan yang terang”. Karena itu dusekitar Pura atau di Jaba Sisi pura ditanami pohon mangga. Pohon Mangga = getas. Sehingga Masyarakat lebih menganal wilayah pelemahan pura ini sebagai Batan Getas



[1]Ibu kota kerajaan sering berpindah-pindah. Istana Dharmawangsa di Wwatan Mas, jug jadi istana Airlangga, walau dia dilantik di Halu. Menurut prasasti Terep tahun 1032, karena diserbu musuh; Airlangga menyingkir ke Patakan (istana sementara), sebelum akhirnya menundukan Raja Wara-wuri. Namun Airlangga tidak kembali ke Wwatan Mas, tapi menempati istana baru di Kahuripan. Pada tahun 1042, saat kerajaan Panjalu dipecah dua, Istana Kahuripan dijadikan pusat kerajaan-timur yang bernama Jenggala dan Panjalu yang juga bernama Kediri menjadi kerajaan barat, berpusat di istana baru yang bernama  Dahana Pura atau Istana Daha.
[2] Berdasarkan peninggalan-peninggalan yang ditemukan maka Perkembangan Sejarah Bali dari masa yang tertua sampai masa sekarang secara garis besar dapat dibagi atas empat zaman yaitu: 1. Zaman Pra Sejarah; 2. Zaman Bali Kuno; 3. Zaman Bali Pertengahan dan  4. Zaman Bali Baru
[3] Sejak awal Pura Dalem Pauman ini adalah tempat masyarakat memohon Tirta Pengentas untuk Pitra Yadnya. Diyakini sebagai pembuka “Jalan Terang” bagi atman sang lampus menuju tempat terakhirnya. Padang Entas bermakna “Jalan yang terang”. Karena itu dusekitar Pura atau di Jaba Sisi pura ditanami pohon mangga. Pohon Mangga = getas. Sehingga Masyarakat lebih menganal wilayah pelemahan pura ini sebagai Batan Getas
[4]Kak Genjo, pungkusan dari ayahnya Pak Puger dari Lukluk, sebelah selatan kompleks Perumahan Warga Bhujangga Waisnawa di Batan Getas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar